Oleh: Noveri Faikar Urfan
Abstract
Mediatization is to be considered a
process oriented of high modernity in which the media become as an independent
institution with a logic of its own that other social institution accommodate
to, especially politics. In the past, the media is located at the subordinat place
behind the politics, because the process of communication is centralized by
political institution, in particular by political party, so the media has
dominated by political logic. But now, after the media take a large
proliferation, the media become omnipresent, logic of the media is widespread
to any other social institution, so that in some degree politics has to be
accomadate the media logic to their own self. The logic of the media refers to the function of media as
the “medium”, and constructing symbolic resource.
Keywords: mediatization, mediatization as the process oriented,
media logic, mediatization in Indonesia.
Kata Kunci: Mediatisasi, mediatisasi sebagai
sesuatu yang berorientasi pada proses, logika media, mediatisasi di Indonesia.
Pendahuluan
Pasca lengsernya
Soeharto dan bergulirnya reformasi, politik menjadi semacam pesta atau perayaan
meriah. Salah satu parameternya dibuktikan dengan banyaknya partai politik yang
ikut serta dalam pemilu. Jika dulu kita hanya mengenal tiga kandidat tetap
partai peserta pemilu, pasca reformasi kita berhadapan dengan 24 partai di
pemilu 2004, dan 38 partai pada 2009, ini jumlah yang tidak terbayangkan
sebelumnya. Tidak seperti masa orba, di mana persoalan politik sangat sensitif
untuk diperdebatkan, kini politik tidak lagi “ngeri” untuk diributkan, bahkan
terkesan blak-blakan.
Isu politik tampak
sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat dewasa ini. Hal ini wajar,
sebab sehari-hari dan kapanpun kita bisa mengikuti isu-isu politik di televisi,
radio, media cetak, dan media online.
Kita pun makin akrab dengan debat-debat politik di media massa. Dahulu ketika
orba, debat politik relatif tabu, sekarang kita tidak kaget melihat politikus
terlibat saling lempar argumen dan alasan, bahkan saling caci maki, seperti
yang kita saksikan dalam debat-debat politik di televisi akhir-akhir ini.
Tidak bisa dipungkiri,
media massa menjadi katalisator dalam perubahan keseharian politik di negeri
ini. Dulu, politik menjadi semacam persoalan “sakral” yang harus ditutupi
melalui sikap represif penguasa, media pun tidak bisa sembarangan menyentuh
persoalan yang dianggap sensitif oleh rezim penguasa itu. Sekarang, setelah
industri media massa berkembang pesat, persoalan politik tidak lagi tabu
dibicarakan sehari-hari. Media massa mengabarkannya dengan cepat dan terus
menerus, sehingga ada kesan bahwa politik telah ter-desakralisasi, bahkan
terkesan “banal”, karena informasinya di media massa membludak di tengah
keseharian masyarakat.
Dari fenomena ini,
penulis melihat bahwa ada pergeseran secara kultural dalam keseharian persoalan
politik dewasa ini, secara khusus dalam relasinya dengan media massa. Pada masa
orde baru, media massa menempati posisi yang subordinat dari wilayah kekuasaan,
sehingga persoalan politik tidak banyak riuh akibat proteksi rezim. Bagi media
massa kala itu, mempunyai hubungan dekat dengan rezim adalah kunci dari ancaman
pembredelan. Menapaki masa pasca reformasi, sejumlah konsolidasi dan
pembaharuan dilakukan untuk membebaskan media dari cengkeraman rezim. Kini,
peta kekuatan seolah berbalik 180 derajat, media massa semakin kuat, bahkan
terasa lebih dominan dari politik itu sendiri.
Media massa dengan
mudah mengabarkan isu-isu politik tiap hari, mengundang pengamat atau ahli,
politukus ternama, pengacara tenar, dan mempertemukan mereka dalam satu forum,
ini bukan lagi hal sulit bagi media. Ini artinya, media massa hari ini sudah
memiliki bargaining position yang
luar biasa terhadap politik. Di tengah posisi media yang kian kuat ini, kultur
politik ditengarai juga ikut bergeser. Pergeseran itu agaknya terasa ketika
dewasa ini, aktor-aktor politik semakin membutuhkan media atau mengadopsi gaya
media menjadi bagian dari dirinya sebagai politikus.
Pada
realitasnya, keadaan ini bisa digambarkan misalnya; partai-partai politik
banyak merekrut selebriti yang tenar di media untuk mendongkrak popularitas dan
citra partai, selain itu, kecakapan untuk memutar (spinning) informasi “bersilat lidah” menjadi kriteria penting bagi
kader partai sebab kecakapan tersebut sangat dibutuhkan ketika berhadapan
dengan media. Bagi para kader partai politik, menjadi media darling adalah kunci atas kesuksesan karir politik (Wibowo,
2012). Hal ini, menunjukkan bahwa “citra di media” menjadi sangat penting bagi
institusi dan aktor politik dewasa ini.
Gejala
tersebut juga bisa diamati, misalnya dalam fenomena semakin maraknya aktor-aktor
politik muncul di media khususnya di televisi, dalam kapasitasnya tidak semata
sebagai aktor politik, tapi juga “bintang media”, seperti menjadi bintang iklan
dan pemain sinetron. Ada beberapa tokoh politik yang bisa disebutkan, seperti
mantan Ketua MK, Mahfud M.D yang menjadi bintang iklan obat masuk angin, Ketua
DPR, Marzuki Alie, yang membintangi iklan pabrikan barang rumah tangga, dan Menteri
BUMN, Dahlan Iskan yang pernah bermain di salah satu sinetron religi dalam dua
episode, sekaligus membintangi iklan obat masuk angin.
Di
luar alasan subjektif para tokoh politik yang menerima tawaran menjadi “bintang
media” tersebut, dalam persoalan ini bisa dilihat bahwa ada gejala di mana
semakin banyak aktor politik yang merasa sangat membutuhkan citra di media
massa. Jika secara normatif, bahwa seharusnya citra institusi atau aktor
politik dicapai dengan upaya perumusan program dan kebijakan bagi publik, bagi
institusi dan aktor politik dewasa ini, indikator ketenaran di media massa
agaknya lebih dominan dibanding program dan kebijakan.
Keadaan
ini melukiskan bahwa ada semacam dominasi dari cara berfikir media atas
politik. Di mana dalam derajat tertentu, politik mulai kehilangan substansinya
sebagai persoalan terkait kebijakan publik, dan tergerogoti oleh
perilaku-perilaku bersifat pencitraan. Hal ini menandakan bahwa, dewasa ini institusi
atau aktor politik semakin tergantung dan dibentuk oleh “logika” media massa.
Gejala inilah yang kini
mulai banyak dibicarakan dalam kajian media-politik, khususnya komunikasi
politik. Fenomena ini disebut “mediatisasi” (mediatization), konsep ini dipakai untuk menggambarkan terjadinya
ekspansi logika media terhadap politik dan ketergantungan institusi atau aktor
politik pada media (Stromback, 2008). Dalam proses yang hampir sama gejala ini
disebutkan oleh Mayer (2002) dengan “mediacracy”
untuk menggambarkan terjadinya praktik kolonisasi oleh permainan media pada
dunia politik (media steering politics).
Secara lebih luas, Hjarvard (2008), Hepp (2013) menyebutkan bahwa ekspansi
logika media tidak hanya merambah pada politik, akan tetapi ikut merasuk secara
kultural pada institusi-institusi sosial yang lain, termasuk institusi
keagamaan, pendidikan, bahkan keluarga.
Mediatisasi
Politik
Konsep mediatisasi
sendiri awalnya dipakai untuk menjelaskan dampak media terhadap komunikasi
politik dan beberapa aspek dalam politik. Dalam riset terdahulu, konsep
mediatisasi dipakai untuk melihat fenomena di mana dalam aspek tertentu, sistem
politik telah disesuaikan dan terpengaruh secara kuat oleh tuntutan media massa
dalam mengulas (coverage) persoalan
politik (Hjarvard, 2008). Keadaan ini salah satunya diadaptasi dari
kecenderungan materi dan cara-cara tertentu para politikus dalam menyampaikan
pesan-pesan politik kepada publik, agar pesan-pesan itu terdengar manis
dihadapan media.
Maka, keadaan ini
mengandaikan bahwa media massa dalam cara kerjanya menjadi relatif tidak
tergantung dari sumber informasi politik. Justru institusi politik (lembaga
pemerintah, politikus, partai politik) sebagai sumber informasi politik menjadi
kurang independen dari media, sehingga mereka menerapkan cara-cara tertentu
untuk melindungi diri dari ulasan media yang beresiko menimbulkan citra buruk
bagi eksitensi dirinya.
Konsep
mediatisasi sendiri lebih dipandang sebagai suatu proses (process-oriented), Stig Hjarvard (2008: 106) melihatnya sebagai
proses kultural yang merubah karakter dan fungsi institusi-institusi sosial
akibat respon atas ekspansi atau kehadiran media secara meluas (media omnipresence). Hjarvard lantas
mengajukan dugaan atas perkembangan karakter institusi media massa secara
periodik-historis dalam relasinya dengan institusi politik. Perkembangan ini disesuaikan
dengan konteks Eropa, Hjarvard menjelaskannya dalam tiga periode. Periode pertama 1920 ke belakang, kedua 1920-1980, dan ketiga 1980 ke depan.
Pada periode pertama (- 1920), media massa dianggap
sebagai instrumen dari institusi sosial, media massa cenderung di manfaatkan
oleh institusi politik sebagai alat agitasi dan propaganda, sehingga posisinya
menjadi subordinat dari institusi politik. Periode kedua (1920-1980), media massa dijalankan atas logika kepentingan
publik, atau bagian dari sarana publik, sehingga kehadirannya ditujukan untuk
melayani publik. Sementara pada periode ketiga
(1980 - ), media massa menjadi relatif independen dari institusi sosial dan
logika dominannya adalah kerja professional, bisnis, dan panduan kapasitas
teknis.
Dalam memaknai periode
yang disebutkan Hjarvard di atas, tentu saja dibutuhkan pengandaian yang lebih
jelas tentang proses terbentuknya gejala mediatisasi politik itu sendiri. Pada
dasarnya, terdapat distingsi antara logika politik dan logika media, akan tetapi
dalam proses mediatisasi sebagai hasil, logika media massa kemudian menekan
politik sehingga mau tidak mau politik kemudian dalam derajat tertentu
menginternalisasi logika media ke dalam dirinya.
Konsep logika politik
itu sendiri, paling tidak selalu berhubungan dengan pengambilan keputusan
kolektif dan otoritas pembuatan kebijakan maupun implementasi atas keputusan
politik. Termasuk di dalamnya terdapat proses distribusi kekuasaan melalui
pemilihan umum atau sarana yang lain; proses pembuatan keputusan; dan petanyaan
tetang kekuasaan, “siapa mendapatkan apa, kapan, dan dengan cara bagaimana”
(Strombach, 2008).
Sementara logika media
(media logic) mengacu pada proses dan
asumsi dalam konstruksi pesan-pesan melalui medium tertentu, khususnya
terobosan teknologi komunikasi (Altheide, 2004). Ini menunjukkan bahwa logika
media mengacu pada fungsinya sebagai “medium” yang memediasi pesan. Media juga juga
merupakan agen konstruksi pesan atau simbol, dan dalam derajat tertentu
fungsinya sebagai medium bisa dipersoalkan sebagai “pesan” itu sendiri
(McLuhan, 1995).
Antara
logika media dan logika politik memang terdapat distingsi, akan tetapi pada
realitasnya kedua logika ini saling besinggungan. Dalam membicarakan proses
mediatisasi politik, kita juga harus melihat pola hubungan antara institusi
politik dan media yang terus bergerak; Strombacah (2008) membantu melihat ini
dengan berusaha mempertanyakan mana yang lebih dominan antara logika politik
atau logika media?, Apakah politik menyetir media atau media yang menyetir
politik?. Tentu saja, pertanyaan ini harus diletakkan dalam derajat tertentu
sebab mediatisasi sendiri bukanlah efek total di mana media benar-benar
mengambil kuasa penuh atas politik, akan tetapi media dengan logikanya semakin
diadopsi dan terinternalisasi menjadi bagian dari politik.
Dalam
dinamika tersebut upaya memberikan pemahaman secara konseptual atas proses
mediatisasi menjadi penting. Blumler dan Kavanagh (1999) misalnya, mengajukan
gambaran tentang tiga era komunikasi politik. sebagai contoh ia mengungkapkan
bahwa ada masa ketika debat-debat politik terasa lebih substantif dan kurang
terpengaruh oleh logika media, dalam era komunikasi politik pertama, masa ini adalah “era keemasan partai
politik”, terjadi selama dua dekade setelah perang dunia ke II.
Pada
masa ini, komunikasi politik berpusat pada partai politik, media massa kala itu
berada dalam posisi subordinat, dipinggir-pinggir titik pusat lingkaran yang
dikuasai oleh partai politik. Pesan-pesan politik pada massa itu, dinilai lebih
substantif sebab aktor-aktor politik cenderung berbicara tentang isu-isu yang
penting bagi mereka, terutama tentang perubahan yang mereka inginkan dalam
pemerintahan yang membedakan dia dengan lawan politiknya (Blumler &
Kavanagh, 1999: 212).
Posisi partai dan tokoh
politik pada masa ini cenderung independen dari media. Institusi dan aktor politik
menjadi pusat komunikasi, sedangkan media menempati posisi kurang independen,
yakni sebagai sebatas medium untuk menyampaikan pesan-pesan politik yang
bersumber dari institusi dan aktor politik, atau menjadi kepanjangan tangan
dari persaingan politik atas partai dan tokoh politik tertentu (media participant).
Setelah era komunikasi
politik pertama, Blumler dan Kavanagh menyebutkan terjadinya era komunikasi
politik kedua dan ketiga. Era komunikasi politik kedua, ditandai dengan musuknya siaran
televisi di sekitar tahun 1960, disusul oleh menguatnya komitmen norma-norma
media non-partisan, seperti netralitas, cover
both side, dan berbagai tuntutan jargon profesional serta independensi
media terhadap politik. Dalam era komunikasi politik kedua ini, posisi media
kian menguat, media mulai memisahkan diri dengan kepentingan politik partisan, dan
memilih jalur independensi serta profesionalitas. Keadaan ini, membuat
institusi politik dan aktor politik mulai kehilangan kendali atas media. Maka
proses komunikasi politik tidak lagi berpusat kepada partai atau tokoh politik
seperti pada era komunikasi politik pertama, melainkan dalam derajat tertentu
komunikasi politik harus menyesuaikan diri dengan posisi media massa yang mulai
independen.
Sementara dalam era
komunikasi politik ketiga, ditandai
dengan semakin berkembangbiaknya sarana komunikasi, keberlimpahan media,
jangkauan dan kecepatan informasi yang semakin tinggi. Keadaan ini kemudian
mengubah cara-cara bagaimana masyarakat menerima pesan-pesan politik. Pada era
komunikasi politik pertama, pesan-pesan politik relatif bersih dari
campurtangan konstruksi media. Kini, ketika media massa semakin melimpah dan
jangkauannya kian luas, pesan-pesan politik mulai terjebak dalam arena
konstruksi media, sehingga seringkali kehilangan substansi.
Dalam derajat tertentu,
institusi dan tokoh politik mulai merespon gejala ini dengan cara-cara tertentu
untuk meminimalisir resiko citra negatif bagi dirinya yang bisa ditimbulkan
oleh media. Blumler dan Kavanagh, lalu mengibaratkan perkembangbiakan industri
media, seperti binatang hidra berkepala banyak (a hydra-headed beast) yang masing-masing mempunyai mulut dan
meminta untuk diberi makan. Pengibaratan ini sebenarnya ditujukan untuk melihat
gejala bahwa institusi dan aktor politik semakin dikepung oleh banyaknya media
massa, di mana masing-masing media selalu ingin mengorek informasi dalam
persoalan politik.
Keadaan ini akhirnya
menuntut institusi dan aktor politik untuk mulai memikirkan cara-cara tertentu
agar bisa berhubungan secara efektif dengan media yang semakin banyak. Dalam
menyikapi hal ini, institusi dan aktor politik secara umum mulai menganggap penting
adanya terobosan dalam membangun program kehumasan, khususnya media relation. Hubungan yang baik
dengan media dianggap akan memberi dampak positif bagi institusi dan aktor
politik, terutama untuk mendorong citra dan meningkatkan elektabilitas.
Dalam gejala tertentu,
banyak aktor-aktor politik yang bahkan menganggap bahwa menjadi “kekasih media”
(media darling) bisa mendorong
kesuksesannya sebagai aktor politik. Artinya, dalam era komunikasi politik
ketiga ini, institusi dan aktor politik semakin terpengaruh oleh determinasi
media terhadap politik. Sehingga dalam derajat tertentu, institusi dan aktor
politik harus berusaha menyesuaikan gaya mereka terhadap keinginan media.
Selain Blumler dan
Kavanagh, Jesper Strombach (2008) juga cukup membantu dalam menganalisis proses
mediatisasi politik dengan mengajukan empat fase dalam menganalisis proses
mediatisasi. Di mana pada awalnya, menurut Strombach, ada pengakuan bahwa media
massa menjadi sumber informasi yang penting bagi politik, yang mana isu-isu
politik mulai ramai dimediai oleh media massa. Sampai pada suatu fase, di mana
media massa menjadi lebih independen terhadap politik, dan proses mediatisasi
politik menguat ketika aktor dan institusi politik sudah mengikuti logika media
menjadi bagian dari dirinya. Apa yang diungkapkan oleh Strombach, dalam hemat
penulis sangat menarik untuk dibahas secara lebih detail, berikut penulis
jelaskan empat fase tersebut.
Media massa pada
awalnya menjadi sarana bagi politik, katakanlah sebagai medium bagi institusi
politik untuk menyebarluaskan kepentingannya. Media kemudian menjadi penting
bagi politik untuk memediai kepentingan politik tertentu agar tersebar secara
massif. Ini adalah fase awal di mana masyarakat mulai meyadari betapa
pentingnya media sebagai saluran informasi dan memiliki dampak yang kuat,
keadaan ini yang disebut Strombach (2008) sebagai fase mediatisasi politik
pertama (the first phase of mediatization).
Masa ini sering
disebutkan ketika perang dunia pertama dan ke dua, ketika media massa
dimanfaatkan sebagai alat propaganda. Konteks historis ini bisa juga dipahami
bahwa media massa (khususnya media cetak) berperan besar dalam membentuk
kesadaran nasional pasca perang dunia, atau “nasionalisme cetak” dalam bahasan
Benedict Anderson tentang Imagined
Communities (1991), sejak itu media massa dianggap sebagai medium yang ampuh
dalam memobilisasi massa.
Dalam fase mediatisasi
kedua (second phase of mediatization),
media mulai independen dari pemerintahan. Media terus berusaha melepaskan diri
dari cengkeraman rezim dan berusaha memetakan arahnya sendiri, melalui
aturan-aturan profesional. Akan tetapi media tidak sepenuhnya independen dari
politik, sebab masih beroperasi dalam batas-batas aturan institusi politik.
Fase kedua ini menggambarkan adanya sebuah transisi dari fase yang pertama.
Media mendapat
kesempatan yang kian luas dalam bersikap dari pada fase yang pertama, media
kian otonom dalam membangun opini publik sesuai norma dan nilai mereka sendiri.
Akan tetapi, dalam fase transisi ini logika politik masih relatif kuat, dan
media dalam derajat tertentu menjadi semi-independen. Dalam pengertian media
massa masih bergelut soal “negosiasi kelayakan berita” (negotiation of news worthynes)
bersama aktor dan institusi politik. Politik tidak bisa lagi mengendalikan
penuh wacana dalam konten media, akan tetapi media juga belum sepenuhnya mampu
mengendalikan wacana politik.
Pada fase mediatisasi ke tiga (third phase of mediatization), media
menjadi lebih independen lagi dari fase yang kedua. Media terus bergerak ke
arah jargon profesionalitas, dan mengukuhkan dirinya sebagai institusi yang
mandiri secara ekonomi karena pasarnya kian menguat. Institusi dan aktor
politik pun menganggap media massa sebagai faktor eksternal yang layak diberi
tempat. Institusi dan aktor politik mulai mengakrabi media untuk mendorong
kesuksesan karirnya. Logika media terus terinternalisasi dalam politik,
sehingga institusi dan aktor politik kian menyadari pentingnya mengadopsi cara
kerja media pada tingkahlaku berpolitik. Keadaan ini diandaikan dengan mulai
gencarnya institusi dan atkor politik melibatkan media dalam kampanye, atau
memanfaatkan press release untuk
mendorong citra.
Sementara fase ke empat
(fourth phase of mediatization),
logika media semakin terinternalisasi dalam logika politik. Institusi dan aktor
politik berfikir bahwa mereka tidak hanya bergandeng dengan media ketika
kepentingan kampanye, tapi juga dalam merumuskan kebijakan. Kaderisasi politik
juga memperhatikan kecakapan berinteraksi dengan media, memutar-mutar (spinning) argumen dalam debat di media,
serta selebritis mendapat tempat yang signifikan dalam politik atas
pertimbangan akan mendongkrak citra politik (Blumler & Kavanagh, 1999).
Proses
Mediatisasi Politik di Indonesia?
Pada
Bahasan sebelumnya, sudah diamati bagaiaman proses mediatisasi terjadi. Blumler
and Kavanagh (1999) mengajukan konsep tiga era dalam komunikasi politik,
sementara Hjarvard (2008), mengajukan periodisasi dalam konteks Eropa, dan
Strombach (2008) menunjukkan empat fase dalam mediatisasi politik. Melihat
pembahasan tersebut, kemudian bisa diajukan pertanyaan, lantas bagaimana proses
mediatisasi di Indonesia?.
Penulis
merasa, empat fase mediatisasi yang ditawarkan oleh Strombach (2008) agaknya
cukup relevan untuk diterapkan dalam melihat proses mediatisasi di Indonesia.
Meskipun proses itu harus didudukkan dalam periodisasi historis agar pergeseran
atau dinamika dalam proses itu menjadi kelihatan. Tentu saja, periodisasi
historis ini tidaklah mutlak, apa yang diajukan Hjarvard adalah sebuah konteks
khusus, yang sedikit banyak akan berbeda dengan konteks Indonesia.
Pada
masa pemerintahan orde lama dan orde baru, posisi media yang subordinat di pinggir
struktur politik, bisa dianggap sebagai fase pertama atau fase awal proses mediatisasi di Indonesia, di mana
media dimanfaatkan oleh institusi politik untuk menjalankan kepentingan politik
tertentu. Dalam fase ini, logika politik terasa mendominasi logika media.
Politik begitu dominan terhadap media massa, sehingga media secara umum media
dianggap sebagai kepanjangan dari kepentingan politik.
Keadaan
ini, bisa dikaitkan dengan misalnya, maraknya media partisan pada era demokrasi
liberal tahun 1950 an. Masa demokrasi liberal tahun 1950-1959 bisa dianggap
sebagai era keemasan partai politik, sebab partai politik memegang kendali
dalam proses komunikasi politik pada masa itu. Pada pemilu pertama di Indonesia
tahun 1955, jumlah partai politik peserta pemilu membludak dengan jumlah lebih
dari 30 partai dengan memegang bermacam ideologi. seperti sosialis, komunis, nasionalis,
Islam, dan sebagainya.
Tuntutan kompetisi
politik yang luar biasa, memunculkan fenomena media partisan sebagai
kepanjangan tangan dari kepentingan partai politik. Di antara banyak media
partisan pada masa itu, bisa disebut misalnya koran-koran partisan dengan oplah
terbanyak: Harian Rakyat milik PKI
(55.000 eks/hari), Pedoman milik PSI
(48.000 eks/hari), Soeloeh Indonesia milik
PNI (40.000 eks/hari), dan Abadi
milik Masyumi (38.000 eks/hari) (Said, dalam Latif, 2005: 380).
Fenomena media partisan
ini, melukiskan gejala bahwa media menempati posisi subordinat di bawah
struktur politik, sehingga media cenderung kurang independen terhadap institusi
politik. Masa setelah demokrasi liberal tahun 1950-1959, yakni masa demokrasi
terpimpin dan orde baru, juga masih bisa dikategorikan dalam fase mediatisasi
pertama, sebab media massa masih menduduki posisi subordinat dari wilayah
kekuasaan. Meskipun memang, pada masa orde baru embrio munculnya media (pers)
yang independen mulai bermunculan, tetapi masih dihantuai oleh bayang-bayang
penguasa dengan ancaman pembredelan.
Pada masa pergulatan
reformasi, sejumlah upaya dilakukan untuk membebaskan media massa dari belenggu
rezim, media pun mulai terbuka untuk membicarakan isu-isu politik dan
mengkritik pemerintah. Pada masa ini logika media kian menguat, kedudukan media
menjadi makin otonom. Akan tetapi, pada masa ini, posisi media masih relatif
tergantung pada batas-batas institusi politik. Penulis menganggap masa ini
sebagai fase mediatisasi kedua.
Sebagaimana kita ingat, masa reformasi adalah masa transisi dari rezim otoriter
menuju demokrasi. Berbagai konsolidasi dan upaya pembaruan dilakukan untuk
mengatasi keadaan negara yang krisis.
Menariknya, pada masa
ini isu-isu politik yang substansial menjadi ramai dikabarkan, kalau kita ingat
seperti isu tentang gagasan federalism dan ekonomi kerakyatan (Panggabean,
1998). Dalam fase transisi ini antara logika politik dan logika media relatif
lebih seimbang, atau boleh dikata dalam derajat tertentu media massa menjadi
semi-independen. Dalam pengertian media massa masih bergelut soal “negosiasi
kelayakan berita” (negotiation of news worthynes) bersama aktor dan
institusi politik. Politik tidak bisa lagi mengendalikan penuh wacana dalam
konten media, akan tetapi media juga belum sepenuhnya mampu mengendalikan
wacana politik.
Setelah masa transisi
reformasi sampai dewasa ini bisa dianggap sebagai fase mediatisasi ketiga dan keempat. Fase ketiga
menampakkan dominasi logika media atas logika politik semakin menguat.
Institusi dan aktor politik makin sering bekerjasama dengan media untuk meraih
kesuksesan karir politik, seperti memanfaatkan media massa untuk kampanye.
Politik yang dibicarakan oleh para politikus, makin mengarah pada motivasi
penguatan citra di media massa, bukan menguatkan bahasan atas program politik.
Dalam derajat tertentu,
logika politik juga ditengarai ikut bergeser dan menginternalisasi logika
media. Misalnya, praktik kaderisasi selebritis oleh partai politik yang kian
marak. Pada pemilu 2004 misalnya nama-nama aktris mulai banyak bermunculan di
DPR seperti Angelina Sondakh (Demokrat), Rieke Dyah Pitaloka (PDIP), pada 2009
jumlah selebritis yang berkarir di DPR meningkat jumlahnya menjadi 18 orang.
Keadaan ini mengandaikan bahwa popularitas di media kian menjadi pertimbangan
bagi kader partai politik. Dalam derajat tertentu, sosialisai program-program
politik menjadi kurang esensial. Misalnya dalam kampanye, substansi program politik
semakin berkurang dan tergantikan oleh kampanye yang sifatnya populer dan hanya
mengedepankan citra seperti iklan politik di televisi (Plasser, 2001).
Pada fase mediatisasi keempat, logika media kian ekspansif,
hal ini mebuat institusi politik sangat mementingkan kapasitas kadernya dalam
berinteraksi dengan media. Misalnya kecakapan memutar (spinning) informasi, debat di media, serta selebritas mendapat
tempat makin signifikan untuk menunjang citra partai. Persoalan substantif
tentang kebijakan dan program politik mulai kehilangan esensinya, digantikan
oleh ramainya perdebetan banal, hingga terlihat batas antara “yang politik” dengan “yang
media” menjadi kian kabur.
Fase
mediatisasi keempat ini, bisa
dipandang sebagai hasil agregat dari proses-proses sebelumnya. Di mana dalam
fase ini, dalam derajat tertentu media begitu mendominasi politik. Misalnya,
kini sangat marak televisi menyajikan acara debat-debat politik, salah satu
yang fenomenal, misalnya Indonesian
Lawyers Club di TV One. Dengan mudahnya televisi mengundang aktor politik
senior, pengacara tenar, budayawan, dan pengamat, lalu mempertemukan mereka
dalam satu forum debat politik. Alih-alih acara ini kemudian menghadirkan
wacana politik yang sehat dan mencerdaskan publik, justru seringkali perdebatan
politik di dalamnya menyajikan wacana politik yang penuh caci maki, tidak
substantif dan rusuh.
Kecenderungan ini, mengindikasikan adanya
dominasi media massa dalam menggiring wacana politik (media steering politics). Logika media kemudian membawa wacana
politik terjebak dalam banalitas. Selain itu, media massa makin dianggap sangat
penting dalam politik, makanya tidak heran kemudian para konglomerat media
massa beramai-ramai masuk dunia politik, seperti Surya Paloh, Abu Rizal Bakrie
dan Hary Tanoesodibyo. Sebab dengan menguasai media sambil mempertahankan
logikanya, bisa berarti jaminan terhadap citra, elektabilitas, dan kesuksesan
karir politik.
Fenomena konglomerat media yang kian
santer terjun ke pentas politik, dalam derajat tertentu mengindikasikan
dominasi aktor politik dalam menyetir media, artinya media dimanfaatkan dalam
agenda kepentingan politik tertentu. Jika begini, maka kita melihat ada
kecenderungan bahwa logika politiklah yang mendominasi media. Akan tetapi,
ketika menyebutkan konsep mediatisasi, keadaan agak berseberangan, sebab dalam
proses mediatisasi sebagai hasil, logika media lah yang mendominasi logika
politik.
Maka, di balik fenomena kepemilikan media di mana
aktor-aktor pemiliknya kini ramai terjun ke politik, penulis mengajukan argumen
bahwa di satu sisi memang terdapat gejala dominasi kepentingan politik atas
media. Namun di sisi lain, institusi dan aktor politik juga semakin
terperangkap pada semacam “keimanan” bahwa mengikuti logika media adalah bagian
dari kunci kesuksesan dalam pentas politik. Sebab, meskipun media itu dikuasai
oleh aktor politik tertentu, aktor atau institusi politik itu tetap akan
terperangkap dalam logika media dalam dosis yang relatif tinggi, terutama dalam
soal pencitraan.
Perlu diingat, bahwa mediatisasi
sendiri bukanlah efek total di mana media benar-benar mengambil kuasa penuh
atas politik. Politik masih akan selalu berhubungan dengan kekuasaaan atau
kebijakan, akan tetapi dalam dosis tertentu media dengan logikanya semakin
ekspansif dan terinternalisasi menjadi bagian dari politik (Hepp, 2013).
Keadaan ini menggambarkan fenomena dominasi logika media terhadap logika
politik, di mana politik menjadi terkesan banal dan kehilangan substansi,
akibat adanya kolonisasi logika media.
Buktinya, dalam praktik-praktik politik keseharian yang
direpresentasikan oleh media massa, politik dewasa ini semakin kehilangan
isu-isu yang substantif. Alih-alih kita mengharapkan perdebatan ideologis,
seperti masa perjuangan kemerdekaan atau masa transisi reforamasi, praktik
politik hari ini tidak lagi berpusat pada ideologi. Perbincangan politik yang
didominasi oleh logika media, akhirnya tidak mengikuti proses deliberasi dan
komitmen mufakat, justru cenderung menghamburkan dramatisasi dan debat-debat
minus substansi.
Maka, publik agaknya kian melihat politik sebagai isu
yang banal, kecenderungan ini kemudian berimbas pada semakin tidak pedulinya
masyarakat pada politik, dan dalam tingkatan partisipasi (pemilu) antusias
publik pun menurun (Norris, 2000). Hal ini wajar, sebab publik seolah mengalami
kejenuhan terhadap politik. Sebab, politik di media dewasa ini adalah politik
yang telah mereduksi dirinya. Jika politik seharusnya bersifat ideologis dan
berorientasikan program, kini politik yang kita saksikan di media semakin
kehilangan substansi, malah makin mirip semacam sandiwara.
Komentar