Langsung ke konten utama

Mengenal Lebih Dalam Si Bapak Sosiologi

Judul Buku: Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern
Penulis : Hanneman Samuel
Penerbit : Kepik Ungu, Depok
Tahun: April, 2010
Tebal: 120 halaman



Emile Durkheim dikenal luas sebagai bapak sosiologi modern. Terlepas dari berbagai kritik yang dialamatkan pada pemikirannya, Emile Durkheim tetap harus dihargai karena kegigihannya untuk melepaskan sosiologi dari pengaruh filsafat dan psikologi, mendorongnya menjadi ilmu yang mandiri.
           Durkheim lahir di Epinal, Prancis, 15 April 1858, dari keluarga Yahudi yang taat. Dia tergolong orang yang cukup pintar, kepandaiannya itu dibuktikan setelah dia mampu masuk di Ecole Normale de Superieure, sebuah sekolah tinggi terkemuka yang terkenal mencetak para ilmuwan besar di Prancis. Di sana Durkheim bertemu dengan para pemikir besar dalam berbagai disiplin ilmu, seperti Pierre Janet, Jean Jaures, dan Henry Bergson.
        Di masanya, Durkheim hidup dalam lingkungan di mana ilmu-ilmu sosial belum mendapat kedudukan yang pantas. Saat itu, filsafat, psikologi dan biologi masih sangat dominan dan menjadi primadona. Sosiologi di masa itu masih berada dalam bayang-bayang filsafat positf Auguste Comte dan Herbert Spencer, sebab itulah Durkheim berusaha untuk melepaskan sosiologi dari pengaruh filsafat dan meletakkannya dalam dunia empiris.
       Dalam pandangan Durkheim, sosiologi sudah tak bisa lagi dipahami dalam keadaan mental murni, seperti yang diperagakan oleh Comte dan Spencer yang menempatkan dunia ide sebagai pokok persoalan. Sebab itu, Durkheim kemudian membangun sebuah konsep dalam sosiologi yang disebutnya fakta sosial (social facts). Fakta sosial harus menjadi pokok persoalan (subject metter) bagi sosiologi, dia harus diteliti dengan riset empiris. Inilah yang kemudian membedakan sosiologi sebagai kegiatan empiris dengan filsafat sebagai kegiatan mental.
  Karya besar Durkheim seperti Le Suicide (1987) dan The Rule of Sociological Method (1985), adalah karya yang berusaha meletakkan sosiologi di atas dunia empiris. Le Suicide adalah  karya Durkheim yang didasarkan atas hasil penelitian empiris terhadap pengaruh agama dan gejala bunuh diri, sedangkan The Rule Of Sociological Method berisi konsep dasar tentang metode penelitian empiris dalalam sosiologi (Ritzer, 2007).
      Dalam khazanah soiologi, pemikiran Emile Durkheim sering dikategorikan dalam paradigma ‘fakta sosial’. Fakta sosial adalah sesuatu yang berada di luar individu, dia lebih bersifat makro dan memberi penekanan pada aspek tatanan masyarakat secara luas. Durkheim sendiri membagi fakta sosial menjadi dua tipe, yakni fakta sosial material dan non material. Fakta sosial material lebih tertuju pada kajian seputar masalah hukum dan birokrasi, sementara fakta sosial non material adalah kebudayaan dan pranata sosial.
        Perhatian Durkheim pada fakta sosial, membuatnya sering dikritik karena tidak memberi penekanan pada aspek individu sebagai aktor sosial, hal ini memang kontras jika dibandingkan dengan sosiologi yang dikembangkan oleh Weber dalam paradigma ‘definisi sosial’ yakni penekanannya pada ‘tindakan penuh makna’ oleh individu.
        Namun, jika kita sibuk membandingkan keduanya, maka kita tak akan memperoleh pemahaman yang utuh terhadap pemikiran para punggwa sosiologi itu, sebab pemikiran seorang tokoh tidak bisa dilepaskan dari konteks historis dan intelktual sang tokoh. Weber mungkin berhasil menghantam asumsi dasar fakta sosial, namun kita tidak boleh lupa bahwa Durkheim sangat berjasa untuk mendirikan sosiologi sebagai Ilmu yang mandiri.
         Buku yang ditulis oleh Hanneman Samuel ini, mengingatkan kita bahwa pemikiran seorang tokoh mesti dipahami secara utuh, lengkap dengan konteks bagaimana dia membangun pemikirannya. Usaha penulisan buku ini patut untuk dihargai, sebab sosiologi tidak boleh tercerabut dari akar -founding father-nya, salah satunya Emile Durkheim.
        Dalam buku ini, penulisnya telah berusaha menghadirkan pada pembaca tentang sosok Emile Durkheim secara utuh, mulai konteks sosial dan intelektual, buah pemikirannnya, serta bahasan menarik seputar jasa-jasa Durkheim terhadap pembanguanan sosiologi modern. Dari itu kita seolah diberi petunjuk, bahwa Durkheim patut kita hargai sebagai bapak sosiologi dengan pemikiran yang tak kalah brilian, dengan para punggawa besar sosiologi seperti B.F. Skinner, Max Weber, dan  Karl Marx.
       Meskipun buku ini cukup tipis, yakni setebal 120 halaman, namun kedalamannya tidak bisa dipandang sebelah mata. Penulisnya mampu menampilkan Durkheim sebagai tokoh penting yang tidak boleh dilupakan dalam khazanah sosiologi. Ia adalah guru besar ilmu sosial pertama di Prancis, analisa emirisnya pada gejala pembagian kerja, agama dan pergeseran solidaritas, serta bunuh diri sebagai fakta sosial, makin meneguhkan sosiologi sebagai ilmu yang mampu bersaing dengan ilmu-ilmu lain yang sudah mapan saat itu.
         Bagi dosen atau mahasiswa yang berminat mendalami sosiologi dari pemikiran tokohnya, maka buku berjudul Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran dan Warisan Bapak Sosiologi Modern, karya Hanneman Samuel (2010) ini, layak dijadikan rujukan yang akan mengantarkan pembaca pada sosok Durkheim dan sumbangsihnya atas sosiologi.
       Di samping itu, buku ini juga cukup memudahkan pembaca, ukurannya yang kecil dan ringan sangat mudah untuk dibawa, setidaknya ini membantu pembaca dalam memahami pemikiran Emile Durkheim secara lebih praktis. Namun buku ini juga tak lepas dari beberapa kekurangan, isinya masih terlalu dangkal untuk menarik benang merah atas pemikiran Durkheim, terhadap kajian sosiologi yang berkembang semakin kompleks dewasa ini.
       Kekurangan ini, mungkin bisa cukup ditutupi oleh pembahasan penulisnya yang cukup komprehensif atas beberapa karya monumental Durkheim, hal ini bisa menggiring pembaca untuk mempertimbangkan kembali analisa tentang historisitas realitas sosial, dan perhatian pada analisis makro struktur fungsional yang layak menjadi perhatian penting bagi para sosiolog.
  Akhirnya, buku ini memang layak untuk dibaca sebagai titik tolak pemahaman kita atas sosiologi secara lebih komprehensif, dengan mengenali Durkheim berarti kita akan berusaha untuk menemukan kembali urgensi pemikiran bapak sosiologi ini dalam jajaran para tokoh sosiologi lainnya, selamat membaca.

Komentar

Unknown mengatakan…
menarik mbah..
bisa pinjam bukunya hehehe(modus juga akhirnya...wkwkwk)
Noveri Faikar Urfan mengatakan…
hahaha.. boleh pinjam, asalkan kamu pinjami aku akun facebookmu.. wkwk

Postingan populer dari blog ini

Agama dan Seni, Konflik dan Kemesraan di Simpang Jalan

Oleh: Noveri Faikar Urfan         Banyak orang menganggap, bahwa agama dan seni adalah fragmen yang berbeda, sudut pandang dan paradigmanya pun akhirnya beda. Agama bukan hal yang esensial bagi seni, begitupula sebaliknya. Secara formal, agama sudah punya aturan ritualistik yang mandiri, agama juga sudah menyediakan jalan transendensi dan asketisme bagi pengikutnya.  Sedangkan seni yang masih dalam batas-batas ekletiknya, memberikan ruang artikulasi bagi ekpresi estetika. Lantas, apakah seni dan agama bisa bergandeng mesra? Tentu bisa. Pasalnya, dalam berbagai konteks kultural, ekspresi estetika telah melebur dengan tradisi keagamaan, seperti dalam ritual-ritual pemujaan. Namun, dalam beberapa kasus, seni dan agama masih tampak saling sikut , dan asimilasi kedua fragmen ini memang tidak mudah.                Dalam beberapa wujud ekspresi kesenian, agama Islam misalnya, terlihat ‘tidak akr...

Menyoal Konglomerasi Media Menguatkan Peran Regulator dan Media Penyiaran Komunitas

Oleh: Noveri Faikar Urfan             Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 Ayat 3 mengatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Bunyi konstitusi ini, memberi amanat bagi negara agar mengelola sumber daya alam demi kesejahteraan masyarakat yang sebesar-besarnya. Dalam ingatan kita, sumber daya alam yang dimaksud dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 tersebut, tentu banyak tertuju pada asset-aset bahan tambang mineral seperti minyak bumi, gas alam, emas, batu bara, dan lain-lain. Akan tetapi, ada satu jenis kekayaan alam yang yang sering dilupakan dari perhatian, kekayaan alam itu adalah frekuensi atau gelombang elektromagnetik yang lazim digunakan untuk kegiatan penyiaran dan telekomunikasi.             Frekuensi adalah satu jenis kekayaan alam yang memiliki nilai ekonom...