Langsung ke konten utama

Agama dan Seni, Konflik dan Kemesraan di Simpang Jalan


Oleh: Noveri Faikar Urfan

        Banyak orang menganggap, bahwa agama dan seni adalah fragmen yang berbeda, sudut pandang dan paradigmanya pun akhirnya beda. Agama bukan hal yang esensial bagi seni, begitupula sebaliknya. Secara formal, agama sudah punya aturan ritualistik yang mandiri, agama juga sudah menyediakan jalan transendensi dan asketisme bagi pengikutnya.  Sedangkan seni yang masih dalam batas-batas ekletiknya, memberikan ruang artikulasi bagi ekpresi estetika.
Lantas, apakah seni dan agama bisa bergandeng mesra? Tentu bisa. Pasalnya, dalam berbagai konteks kultural, ekspresi estetika telah melebur dengan tradisi keagamaan, seperti dalam ritual-ritual pemujaan. Namun, dalam beberapa kasus, seni dan agama masih tampak saling sikut, dan asimilasi kedua fragmen ini memang tidak mudah.   
            Dalam beberapa wujud ekspresi kesenian, agama Islam misalnya, terlihat ‘tidak akrab’ terutama pada ekspresi seni seperti patung, gambar menyerupai manusia, karikatur manusia, tari-tarian, atau jimat dan ritual pengundang makhluk halus seperti dalam kepercayaan kejawen. Salah satu penyebab ketidakakraban ini, nampak jelas pada konsepsi mereka mengenai ‘syirik’, yakni sebuah perilaku yang mendekatkan manusia pada ‘penyekutuan tuhan’.  Pengagungan pada hal-hal diluar tuhan, seperti dewa, roh, atau benda mistik dianggap sebagai ‘penyekutuan’, termasuk ekspresi kesenian semacam patung, atau karikatur yang dianggap haram karena menyerupai ciptaan tuhan yang sempurna.  
            Masih harum di ingatan kita, kasus novel The Satanic Verses nya Salman Rushdie, atau karikatur Muhammad di Denmark yang membuat banyak orang Islam ‘mengamuk’, bahkan Khomaeni menyempatkan waktunya untuk berfatwa ‘darah Rushdie halal hukumnya’[1]. Disamping adanya indakasi provokatif, penulis rasa, paling tidak masih ada titik ketegangan antara seni dan agama, yang belum terdamaikan.
Kita tak mengerti kenapa Rushdie harus  memakai sastra untuk mendaulat Al quran sebagai ‘ayat setan’, sementara Khomaeni dengan lantang menghakimi aspirasi seni sastra sebagai ‘fitnah’. Menariknya, Karen Amstrong lantas menyebut jika agama sesungguhnya bersifat ‘pragmatik’[2], karena terkadang pengakuan kita tentang Tuhan (yang gaib), terkalahkan oleh sekedar martabat agama, disitulah radikalisme muncul. Bisa jadi sikap kasar Khomaeni, bukan demi keagungan sang gaib, tapi untuk martabat atau kekuasaan?.
Tidak hanya agama, penulis rasa, seni pun demikian Pragmatik, karena seringkali manusia tidak puas, jika olah keindahan yang dibuatnya hanya dinikmati sendiri,  makanya dia butuh apresiasi atau  kontroversi di banyak orang, dan mungkin  ini yang terjadi dalam diri Rushdie. Ya, sekedar ingin eksis.
Pencarian Titik Temu
            Bukan hanya soal perselisihan, namun keakraban antara seni dan agama nyatanya  telah terpelihara secara konsisten. Misalnya dalam ritual kepercayaan Hindu Bali, mereka punya pertunjukan seni tari yang amat disakralkan, tari Drama Rangda[3], Sebuah ritual seni pertunjukan yang memformulasikan konsepsi agama mengenai kehidupan. Sambil di iringi alunan gamelan bali, tarian ini menyuguhkan pertentangan anatara dua lakon kehidupan, yakni barong, sebagai wakil dari simbol kebajikan, sedangkan rangda adalah simbol dari kebatilan.
            Senada dengan Hindu, tradisi Budha menunjukkan kemesraan serupa, khususnya pada seni pahat, seperti patung-patung Budha, Sidharta Gautama, yang dipahat dengan rupawan di Borobudur. Demikian pula patung dewa Shiva, Wishnu, Ganesha, yang dipahat dan disucikan oleh umat Hindu. Hal ini menunjukkan eratnya pertautan dan keterikatan mereka pada ekspresi seni sebagai dunia simbolik atas manifestasi pada ‘yang sakral’.
Ekspresi simbolik dalam seni, kemudian menjadi media yang membawa manusia religus, membentuk pola manifestasi pada tuhan. Saat itulah manusia kemudian mampu memberi jarak secara emosional antara dunia sakral dan dunia profan, bahkan menjadi artikulasi sebagai upaya menjaga keseimbangan kosmik.
Akhirnya, katakanlah patung (sebagai karya seni) bukan lagi sebgai patung an sich, tapi sebagai representasi atau media penghambaan pada yang ‘sakral’. Inilah pola manifestasi yang terjadi dalam masyarakat religius, baik tingkat primitif sampai yang paling tinggi, dan pola manifestasi ini diistilahkan oleh Mircea Eliade dengan Hierophany[4].
            Mircea Eliade sendiri, pada awalnya menunjukkan pola manifestasi keagamaan (hierophany) khusus pada masyarakat primitif, tampaknya dia memang cukup sepakat dengan pendapat Max Weber, bahwa hanya agama-agama primitiflah yang dengan sangat jelas memadukan agama dan seni. Weber selanjutnya mencatat, bahwa agama asketik rasional cenderung menolak kesenian, sedangkan agama mistik tidak terlalu mempersoalkannya[5].           
Dalam kasus agama Katolik, meski awalnya mereka punya pengalaman buruk soal konfrontasi antara kekuasaan Gereja dan perkembangan Sains[6], paling tidak agama ini memiliki sejarah di mana keagungan seni mendapat penghargaan luar biasa. Lukisan dan Patung, karya Michelangelo, Leonardo da Vinci (abad 16) adalah saksi bisunya, mahakarya itu sampai kini masih terpahat dengan apik dalam interior Gereja Katolik Vatikan dan Roma.
Katolik dan seni tampak begitu lekat, persis seperti yang dikatakan oleh Bernard S. Myers, yang melihat perpaduan keduanya lebih karena seni memang menjadi bagian yang penting untuk menunjukkan simbol kesalehan ‘What does the religious art of the past mean to us today? For many, the churches and temples of the past have direct and positive meaning as symbols of faith’[7].
Namun, ketika gelombang renaisance mulai bergulir di sekitar abad 15-16, saat itulah legitimasi kekuasaan gereja mulai dipertanyakan, ketika itu Martin Luther datang dengan semangat reformisnya. Kala itulah Kristen Protestan menegaskan identitasnya dengan berupaya menentang pandangan-pandangan iman tradisional, dengan gigih Protenstan merasionalisasi pandangan Kristen tradisional dengan menolak sikap asketisme-kontemplatif (lari dari dunia), dan menawarkan jalan baru keselamatan menuju ‘kerja dunia’ yang asketik-aktif, sikap inilah yang menjadi penghubung antara semangat kerja dan sikap keagamaan, seperti yang ditulis Weber dalam karyanya ‘The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism’.  
Tidak hanya itu, Rasionalisasi Kristen yang di bawa oleh Protestan juga menunjukkan efek ganda, tak terkecuali dalam soal seni. Ternyata, Protestan tampak lebih suka menempatkan seni pada semangat, bukan bentuk formalnya, dengan itu Protestan tampak menggeser jarak antara seni dan agama. Protestan justru melihat seni Katolik sebagai kekanak-kanakan, sedang katolik masih melihatnya dengan akrab sebagai simbol kesalehan yang terkandung di dalamnya.
Protestan sepertinya punya cara lain untuk menggugah emosi bagi pengikutnya di luar mentalitas katolik. Seperti yang coba diungkapkan oleh Paul Tillich yang melihat Lukisan ‘Guernica Picasso’ sebagai lukisan yang memberanikan diri dengan sebuah paradoks ‘membenarkan orang berdosa’, kemudian ingin menyadarkan manusia pada masalah-masalah kemanusiaan, kecemasan, kemiskinan dan keputusasaan, yang sepertinya agak luput saat katolik masih betengger di dahan peradaban.
Fakta-fakta yang ditulis di atas, sebenarya bisa dimaknai bahwa di balik perseteruan yang kadang terjadi antara ekspresi seni dan keagamaan, sebenarnya kedua ekspresi tersebut tidaklah bisa dipisahkan. Secara natural, agama selalu didekati oleh manusia dengan ekspresi-ekspresi yang beragam. Seni bisa menjadi salah satu medium bagi manusia untuk mengutarakan ekspresi dan perasaan religiusnya.



[1] Cerita tentang Salman Rushdie dan statemen keras Khomaeni dibahas oleh Karen Amstrong dalam karyanya Sejarah Muhammad (terj), Pustaka Horizona, Magelang, 2007. Hal 7-9
[2] Penulis mengutip intinya, dari buku Sejarah Tuhan (terj), Karen Amstrong, Mizan, Bandung, 2001. Hal 22-23
[3]Dikutip dari, Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta, Tiara Wacana, 1987. Hal 54-55.  Pengertian lebih lanjut bisa di cari di http//bahastra.multiply.com/journal/item/8. Clifford Geertz juga mengungkapkan, bahwa dalam ritual pertunjukan ini menunjukkan pertentangan dua kekuatan, secara kosmis dan psikologis. The Interpretation Of Culture, New York, Basic Books. 1973.  P 144.
[4] Meski tidak selalu terkait dengan seni, Mircea Eliade menyebutkan bahwa sejarah agama-agama dari yang paling primitif hingga paling tinggi dibentuk oleh sejumlah besar Hierophany, dari manifestasi sakral dalam obyek keseharian, seperti batu, pohon, gunung, sampai penjelamaan Tuhan dalam Yesus Kristus (Kristen). Mircea Eliade, 2002, Sakral dan Profan (terj), Yogyakarta, Fajar Pustaka Baru, Hal 3-5
[5] Max Weber, 1962,  The Sociology of Religion, Boston, Beacon Press. P 246
[6] Konfrontasi antara Gereja dan Ilmu pengetahuan disampaikan secara menarik lewat film Angels and Demons, yang diadopsi dari naskah novel karya Dan Brown. Film ini berkisah tentang upaya balas dendam oleh kelompok Ilmuwan (Illuminati) terhadap kekuasaan dewan gereja Vatikan.
[7] Bernard S. Myers, 1963,  Understanding The Arts, Holt, Renehart and Winston, New York. Page 35

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menyoal Konglomerasi Media Menguatkan Peran Regulator dan Media Penyiaran Komunitas

Oleh: Noveri Faikar Urfan             Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 Ayat 3 mengatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Bunyi konstitusi ini, memberi amanat bagi negara agar mengelola sumber daya alam demi kesejahteraan masyarakat yang sebesar-besarnya. Dalam ingatan kita, sumber daya alam yang dimaksud dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 tersebut, tentu banyak tertuju pada asset-aset bahan tambang mineral seperti minyak bumi, gas alam, emas, batu bara, dan lain-lain. Akan tetapi, ada satu jenis kekayaan alam yang yang sering dilupakan dari perhatian, kekayaan alam itu adalah frekuensi atau gelombang elektromagnetik yang lazim digunakan untuk kegiatan penyiaran dan telekomunikasi.             Frekuensi adalah satu jenis kekayaan alam yang memiliki nilai ekonom...

Mengenal Lebih Dalam Si Bapak Sosiologi

Judul Buku:  Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran,  dan Warisan Bapak Sosiologi Modern Penulis : Hanneman Samuel Penerbit : Kepik Ungu, Depok Tahun: April, 2010 Tebal: 120 halaman Emile Durkheim dikenal luas sebagai bapak sosiologi modern. Terlepas dari berbagai kritik yang dialamatkan pada pemikirannya, Emile Durkheim tetap harus dihargai karena kegigihannya untuk melepaskan sosiologi dari pengaruh filsafat dan psikologi, mendorongnya menjadi ilmu yang mandiri.            Durkheim lahir di Epinal, Prancis, 15 April 1858, dari keluarga Yahudi yang taat. Dia tergolong orang yang cukup pintar, kepandaiannya itu dibuktikan setelah dia mampu masuk di Ecole Normale de Superieure, sebuah sekolah tinggi terkemuka yang terkenal mencetak para ilmuwan besar di Prancis. Di sana Durkheim bertemu dengan para pemikir besar dalam berbagai disiplin ilmu, seperti Pierre Janet, Jean Jaures, dan Henry Bergson.       ...