Langsung ke konten utama

Menyoal Konglomerasi Media Menguatkan Peran Regulator dan Media Penyiaran Komunitas

Oleh: Noveri Faikar Urfan
            Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 Ayat 3 mengatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Bunyi konstitusi ini, memberi amanat bagi negara agar mengelola sumber daya alam demi kesejahteraan masyarakat yang sebesar-besarnya. Dalam ingatan kita, sumber daya alam yang dimaksud dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 tersebut, tentu banyak tertuju pada asset-aset bahan tambang mineral seperti minyak bumi, gas alam, emas, batu bara, dan lain-lain. Akan tetapi, ada satu jenis kekayaan alam yang yang sering dilupakan dari perhatian, kekayaan alam itu adalah frekuensi atau gelombang elektromagnetik yang lazim digunakan untuk kegiatan penyiaran dan telekomunikasi.
            Frekuensi adalah satu jenis kekayaan alam yang memiliki nilai ekonomi dan politik sangat besar. Kegunaannya sebagai prasyarat dalam kegiatan penyiaran dan telekomunikasi serta jumlahnya yang terbatas, membuat penggunaannya harus diatur dan tidak bisa bisa dipandang sebelah mata oleh pemerintah dalam pengelolaan kebijakan negara. Selama ini, publik mungkin tidak banyak tahu bahwa frekuensi yang digunakan untuk kegiatan penyiaran oleh stasiun televisi dan radio swasta, adalah kekayaan alam yang harus diatur dan dikelola untuk kepentingan orang banyak.
            Pertanyaannya kemudian, apakah frekuensi sebagai kekayaan publik sudah dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kepentingan hajat hidup orang banyak?. Sejak pemerintahan Orde Baru,  jalannya pengelolaan frekuensi telah dijalankan menurut selera kepentingan penguasa, frekuensi dikapling-kapling kepada mereka yang mempunyai daya tawar politik dan ekonomi kuat, serta dekat dengan penguasa.
            Kemunculan stasiun-stasiun penyiaran televisi swasta nasional di masa Orde Baru tidak lepas dari kedekatan para pemilik perusahaan penyiaraan itu pada rezim Soeharto. Munculnya televisi-televisi swasta nasional di Indonesia waktu itu, tak ubahnya seperti menjadi urusan pribadi keluarga Cendana[2]. Munculnya stasiun televisi pertama, RCTI, dimiliki oleh anak ke tiga Soeharto, Bamabang Trihatmodjo, disusul SCTV di tahun 1989, dimiliki pengusaha yang dekat dengan Cendana, Henry Pribadi, beserta keluarga Cendana lain, Sudikatmono (adik tiri Soeharto) dan Halimah Trihadmodjo (menantu Soeharto). TPI yang beroperasi mulai akhir tahun 2000 dimiliki oleh Siti Hardiyanti Rukmana (puteri pertama Soeharto), sementara Indosiar dimiliki oleh Salim Group, kelompok bisnis milik Liem Sie Liong, sahabat dekat Soeharto, hanya ANTV yang tidak punya kaitan langsung dengan keluarga Cendana, akan tetapi tetap dimiliki oleh kelompok bisnis yang dekat dengan partai penguasa, Golkar, yakni Bakrie Group dan Agung Laksono, sebagai tokoh Golkar.
            Monopoli frekuensi pada masa pemerintahan Soeharto secara langsung menunjukkan bahwa pemerintah Orde Baru telah berusaha membelenggu kebebasan bersuara pada publik. Frekuensi yang seharusnya digunakan untuk kegiatan komunikasi dan penyiaran, sekaligus sebagai prasyarat beroperasinya penyiaran pers, justru dikapling-kapling kepada pihak yang dekat dengan penguasa. Hal ini menunjukkan bahwa Orde Baru berusaha menjaga kelanggengan kekuasaannya dengan membatasi peran pers dalam menjalankan fungsi kontrol sosial pada kekuasaan.

Konglomerasi Media Penyiaran                       
            Di masa Orde Baru, peran media massa (pers) telah dibelenggu oleh otoritas rezim penguasa, waktu itu pemerintah sempat menerbitkan aturan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), yang membelenggu suara pers dalam fungsi kontrol sosialnya kepada pemerintah. Pasca lengsernya pemerintahan Soeharto, Indonesia memasuki masa reformasi. Demokratisasi yang selama 32 tahun telah dibelenggu oleh otoritas rezim penguasa, kini diharapkan akan lahir kembali dan dijalankan dengan sebaik-baiknya demi kepentingan bangsa dan negara. Setelah memasuki masa reformasi, pertanyaan besar yang kemudian muncul, apakah demokratisasi dalam penyelenggaraan media penyiaran, termasuk dalam pengelolaan frekuensi sudah berjalan?.
            Secara esensial demokratisasi media membutuhkan jaminan, di mana kesetaraan dalam akses memanfaatkan media harus dijunjung tinggi. Untuk itulah, sebenarnya dibutuhkan dua prinsip pokok dalam menyongsong kesetaraan tersebut, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Penyiaran nomor 32 tahun 2002, prinsip itu adalah diversity of content (keberagaman isi) dan diversity of ownership (keberagaman kepemilikan)[3]. Diversity of content berarti jaminan atas tersedianya informasi yang beragam bagi publik baik dari sisi jenis program maupun isi di dalamnya. Sedangkan diversity of ownership adalah jaminan bahwa kepemilikan media massa di Indonesia tidak dimonopoli oleh segelintir orang atau golongan saja, hal ini tentu termasuk pelaksanaan pengelolaan frekuensi secara adil, sehingga menjamin adanya iklim persaingan yang sehat dalam pengelolaan media massa penyiaran di Indonesia.
            Ibarat jauh panggang dari api, prinsip diversity of content dan diversity of ownership dalam penyelenggaraan media penyiaran di Indonesia belum dijalankan dengan baik, justru yang terjadi adalah sebaliknya, prinsip itu seperti telah dicederai oleh praktik penyelenggaraan media penyiaran yang tidak adil dan sentralistis. Bukan rahasia lagi jika alokasi penggunaan frekuensi untuk kegiatan media penyiaran cenderung dimonopoli oleh beberapa korporasi media massa terutama di Jakarta, yang hanya dimiliki oleh segelintir orang. Kelompok-kelompok usaha seperti Bakrie Group, Trans Corp, MNC Group, dan Media Group, adalah sebagian dari nama-nama kelompok usaha yang begitu berkuasa dalam kegiatan media penyiaran swasta di Indonesia.
Kepemilikan hak guna frekuensi dan media penyiaran yang didominasi oleh sekelompok usahawan swasta, menjadi masalah serius dalam dunia media penyiaran di Indonesia. Hal ini sejatinya telah melanggar prinsip dalam demokratisasi media, di mana prinsip diversity of ownership guna menjamin persaingan yang sehat dalam kegiatan penyiaran, telah dinodai oleh kepemilikan yang sentralistis pada segelintir konglomerat saja. Kondisi ini tentusaja bertentangan dengan semangat demokratisasi penyiaran beserta konstitusi yang berlaku di dalamnya.
Dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, sebenarnya telah mengatur tentang sistem kepemilikan media penyiaran. Dalam pasal 20 disebutkan bahwa “Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi masing-masing hanya dapat menyelenggarakan 1 (satu) siaran dengan 1 (satu) saluran siaran pada 1 (satu) cakupan wilayah siaran”. Dalam kenyataannya, masih ada saja satu kelompok usaha yang menjalankan penyiaran lebih dari satu siaran, misalnya saja Trans Corp yang menjankan 2 stasiun televisi yakni Trans TV dan Trans 7, bahkan MNC Group menjalankan sampai 3 stasiun televisi swasta nasional yakni MNC TV, RCTI, dan Global TV.



Tabel Konglomerasi Media Penyiaran[4]

NO
Media Group
Radio Station
Television Station
1
Kompas-Gramedia Group

Sonora Radio dan Otomotion Radio
Kompas TV
2
MNC (Media Nusantara Citra)

Trijaya FM, Radio Dangdut TPI, ARH Global, Women Radio
RCTI, Global TV, MNC TV, Idovision (televisi kabel)
3
Jawa Pos

Fajar FM, di Makasar
JTV Surabaya, dan 3 stasiun TV lokal
4
Mugi Reka Aditama               
Hard Rock FM, MTV Sky
O’Channel
5
Bali Post

Bali TV dan 8 TV lokal lainnya
6
Mahaka Media
Radio Jak FM

JakTV, TV One

7
Bakrie Group

AnTV, TV One
8
Trans Corp

TransTV, Trans7

9
Media Group

MetroTv

Melihat hal ini, apa yang dihadapi oleh dunia media penyiaran di Indonesia adalah semakin tidak terkendalinya penguasaan segelintir pihak swasta atas properti publik (baca: frekuensi), sehingga prinsip egaliter dan kepentingan publik semakin tersubordinasi dalam sistem ekonomi-politik yang penuh ketimpangan. Selain itu, corak kepemilikan media penyiaran pada segelintir pihak juga berimbas pada mutu siaran yang jauh dari harapan publik. Dalam siaran televisi misalnya, publik cenderung banyak disuguhi oleh tayangan-tayangan yang kurang memperhatikan mutu dan asas kepentingan publik.
Misalnya saja tayangan-tayangan komedi, sinetron, dan tayangan bersifat entertain yang hampir di semua stasiun televisi swasta nasional sifatnya hampir serupa, agaknya cukup sulit untuk menemukan tayangan yang inovatif dan benar-benar disandarkan pada kebutuhan publik. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya implementasi prinsip diversity of content, di mana jaminan atas keberagaman isi siaran telah tercederai oleh banyaknya tayangan yang kurang memperhatikan mutu dan kepentingan publik. Apalagi, ada kecenderungan bahwa produksi siaran hanya didasarkan pada kepentingan ekonomi semata, yakni siaran diproduksi dengan usaha pembiayaan semurah mungkin, namun bisa menghasilkan keuntungan (rating dan iklan) dengan maksimal.
Penguatan Regulator dan Peran Media Penyiaran Komunitas
            Kecenderungan adanya monopoli penggunaan frekuensi dan konglomerasi media penyiaran oleh segelintir pihak swasta adalah masalah yang harus disikapi secara serius. Undang-Undang nomor 32 tahun 2002, sebenarnya sudah mengatur regulasi tentang jalannya media penyiaran di Indonesia, termasuk dalam sisi operasional beserta standar program siaran. Hal ini bertujuan untuk mendorong terselenggaranya kegiatan penyiaran yang sehat dan mengedepankan kepentingan publik. Tugas tersebut sudah dilimpahkan kepada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), sebagai lembaga negara independen yang dilindungi oleh konstitusi. Akan tetapi, peran KPI sepertinya masih lemah dalam menjalankan tugasnya, sebab persoalan serius dalam penyelenggaran media penyiaran dalam sisi operasional beserta program siaran masih belum terselesaikan hingga saat ini.
            Meskipun begitu, KPI sebagai regulator resmi harus terus dikuatkan peranannya. KPI sejatinya perlu lebih berani dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, peran serta publik dalam mendorong terselenggaranya penyelenggaraan penyiaran yang demokratis juga penting dilakukan. Dengan upaya yang berani dari KPI beserta dukungan masyarakat, upaya untuk mendorong penyelenggaraan penyiaran yang demokratis masih bisa diharapkan akan terlaksana. Selain berupaya menguatkan peran KPI sebagai regulator resmi, peran serta masyarakat juga bisa dilakukan dengan upaya-upaya alternatif melalui penguatan adanya media alternatif, khususnya media penyiaran komunitas.

Kewenangan, Tugas dan Kewajiban KPI[5]
Kewenangan
-          Menetapkan standar program siaran
-          Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran (diusulkan oleh asosiasi/masyarakat penyiaran kepada KPI)
-          Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
-          Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran
-          Melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat
Tugas dan Kewajiban
-          Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia
-          Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran
-          Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait
-          Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang
-          Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran
-          Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran

Demi mengupayakan keadilan informasi, publik juga bisa berperan sebagai produsen informasi. Tidak hanya menjadi konsumen, masyarakat juga berhak untuk menyelenggarakan produksi informasi demi kepentingan mereka. Upaya untuk mewadahi dan mengekspresikan pendapat dan kepentingan warga, itulah semangat utama hadirnya media komunitas. Kebutuhan ini agaknya sulit dipenuhi jika hanya mengandalkan diri pada media penyiaran publik dan swasta yang jangkauannya sangat terbatas[6]. Artinya, kebutuhan-kebutuhan khusus rakyat dalam tingkat terkecil seringkali tidak dapat terpenuhi oleh jangkauan media-media mainstream. Kesempatan yang terbatas ini, mendorong masyarakat untuk berupaya secara aktif dalam mencukupi kebutuhan informasi dalam lingkup kepentingan lokal atau komunitasnya melalui penyelenggaraan media penyiaran komunitas.


Swasta
Publik
Komunitas
Inisiatif penyusunan materi siaran
Pengelola berdasarkan hasil rating (peringkat) dari surveyor dan juga selera/ kreativitas para pengelola
Pengelola berdasarkan
Keputusan manajemen
Pengelola berdasarkan hasil diskusi dan kesepakatan
bersama komunitasnya
Orientasi materi siaran
Diarahkan kepada segmen pasar yang disasar
Luas untuk informasi kepada publik dari
berbagai kalangan
Kepentingan dan kebutuhan warga di wilayah tersebut
Sumber Informasi
Berasal dari informasi resmi, pejabat formal pemerintah/punya nama besar, tokoh selebritis
Pejabat formal menurut
Pemerintah
Tidak harus pejabat, bisa
orang biasa, tokoh informal, petani, orang
miskin dsb
Keragaman tema
Cenderung mengikuti keinginan dan selera pasar
Cenderung mengikuti
keinginan dan norma
Bergantung kepada tema-tema yang dibutuhkan warga setempat
Pakem dan dialek
Cenderung mengikuti gaya
bicara orang kota (Jakarta)
Menggunakan bahasa-bahasa formal dan kaku
Lebih mengikuti dialek lokal dan kebiasaan berbicara setempat
Kontrol terhadap isi
Siaran
Selain pihak yang berwenang, pemilik dan juga pengiklan mengontrol isi siaran
Selain pihak yang berwenang saat ini masih dikontrol oleh pemerintah karena membiayainya
Selain pihak berwenang
adalah warga masyarakat
langsung dan juga Dewan Penyiaran Komunitasnya
Perbandingan Media Penyiaran Swasta, Publik dan Komunitas[7]
            Di Indonesia, penyelenggaraan media penyiaran komunitas sudah cukup ramai dilakukan. Umumnya media penyiaran komunitas masih menggunakan siaran radio dengan pertimbangan biaya yang cenderung murah, meskipun adapula media penyiaran televisi komunitas, dengan pembiayaan yang relatif lebih mahal. Media penyiaran komunitas memang dimanfaatkan untuk melayani kebutuhan informasi yang terbatas pada komunitasnya, seperti informasi tentang pertanian, pendidikan atau tanggap bencana. Seperti radio komunitas Informasi Pertanian, di Wonocolo, Surabaya, secara konsisten radio ini menyajikan program penyuluhan pertanian untuk menjawab kebutuhan komunitas petani. Adapula radio komunitas di desa Timbulharjo, Yogyakarta yang keberadaannya cukup fenomenal, yakni radio Angkringan, di mana keberadaannya cukup mampu untuk mendorong daya kritis masyarakat agar berperan aktif dalam proses politik (pengambilan kebijakan) di tingkat desa[8]. Selain itu, di Kecamatan Grabag, Magelang, ada pula televisi komunitas, Grabag TV, yang didirikan oleh seorang dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ)[9], keberadaannya juga ditujukan untuk menjawab kebutuhan informasi komunitas seputar pertanian, kegiatan warga, dan pengambilan kebijakan di tingkat lokal, atau digunakan sebagai media pembelajaran siswa sekolah.
            Hadirnya media penyiaran komunitas tentusaja adalah sebuah kabar gembira di tengah carut-marutnya penyelenggaraan media penyiaran di Indonesia yang tercederai oleh kepentingan ekonomi politik yang menimbulkan kesenjangan. Semangat warga komunitas untuk memproduksi dan mencukupi kebutuhan informasinya sendiri, bisa dilihat sebagai upaya pemberdayaan yang riil. Melalui media penyiaran komunitas, warga ditempatkan sebagai subjek yang berdaya untuk memproduksi informasi yang mereka butuhkan, bukan menjadi penonton pasif yang hanya mengkonsumsi siaran dari televisi swasta. Akhirnya, peran media penyiaran komunitas, paling tidak memberikan angin segar pada harapan demokratisasi media penyiaran, di mana dalam demokrtasasi sendiri, peran serta publik adalah prinsip mutlak yang harus diperjuangkan.




[2] Krisna Sen dan David T. Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia, Institut Studi Arus Informasi, 2001, hal. 129.
[3] Amir Efendi Siregar, “Undang-Undang Penyiaran, Peta Media, Digitalisasi dan Tv Komunitas”, makalah ini disampaikan pada acara Temu Nasional TV Komunitas ke 2 di Jogja National Museum. Yogyakarta, 13-14 Oktober 2012.
[4] Diolah dari laporan Indepth Reporting, Firdaus Cahyadi, “Konglomerasi Media di Era Konvergensi Telematika”, Yayasan Satu Dunia, 2012.
[5] Lihat. UU No. 32 tahun 2002, tentang Penyiaran.
[6] Ade Tanesia (ed), Mengapa Radio Komunitas?, Yogyakarta, Combine Resource Institution, 2006. Hal. 12-13.
[7] Ibid., Hal. 17.
[8] Agus Sudibyo, Ekonomi Politik Media Penyiaran, Yogyakarta, LKiS, 2004, hal. 228-229. 
[9] Penulis pernah berkunjung ke Grabag TV selama satu bulan (Juni-Juli 2008), dan sempat berbicara banyak hal dengan Hartanto, pendiri Grabag TV.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Agama dan Seni, Konflik dan Kemesraan di Simpang Jalan

Oleh: Noveri Faikar Urfan         Banyak orang menganggap, bahwa agama dan seni adalah fragmen yang berbeda, sudut pandang dan paradigmanya pun akhirnya beda. Agama bukan hal yang esensial bagi seni, begitupula sebaliknya. Secara formal, agama sudah punya aturan ritualistik yang mandiri, agama juga sudah menyediakan jalan transendensi dan asketisme bagi pengikutnya.  Sedangkan seni yang masih dalam batas-batas ekletiknya, memberikan ruang artikulasi bagi ekpresi estetika. Lantas, apakah seni dan agama bisa bergandeng mesra? Tentu bisa. Pasalnya, dalam berbagai konteks kultural, ekspresi estetika telah melebur dengan tradisi keagamaan, seperti dalam ritual-ritual pemujaan. Namun, dalam beberapa kasus, seni dan agama masih tampak saling sikut , dan asimilasi kedua fragmen ini memang tidak mudah.                Dalam beberapa wujud ekspresi kesenian, agama Islam misalnya, terlihat ‘tidak akr...

Mengenal Lebih Dalam Si Bapak Sosiologi

Judul Buku:  Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran,  dan Warisan Bapak Sosiologi Modern Penulis : Hanneman Samuel Penerbit : Kepik Ungu, Depok Tahun: April, 2010 Tebal: 120 halaman Emile Durkheim dikenal luas sebagai bapak sosiologi modern. Terlepas dari berbagai kritik yang dialamatkan pada pemikirannya, Emile Durkheim tetap harus dihargai karena kegigihannya untuk melepaskan sosiologi dari pengaruh filsafat dan psikologi, mendorongnya menjadi ilmu yang mandiri.            Durkheim lahir di Epinal, Prancis, 15 April 1858, dari keluarga Yahudi yang taat. Dia tergolong orang yang cukup pintar, kepandaiannya itu dibuktikan setelah dia mampu masuk di Ecole Normale de Superieure, sebuah sekolah tinggi terkemuka yang terkenal mencetak para ilmuwan besar di Prancis. Di sana Durkheim bertemu dengan para pemikir besar dalam berbagai disiplin ilmu, seperti Pierre Janet, Jean Jaures, dan Henry Bergson.       ...