Langsung ke konten utama

Westminster School dan Kajian Ekonomi Politik Komunikasi

Di Inggris, kita kenal baik dengan Birmingham School sebagai gerakan awal dalam perkembangan pemikiran cultural studies, yang kini banyak dipakai sebagai perspektif dalam kajian media. Akan tetapi, dalam tradisi yang berbeda, akar kajian media di Inggris juga penting dilacak dari kemunculan Westminster School, yang punya peran penting bagi kajian komunikasi dan media dalam perspektif ekonomi politik.
Westminster School berdiri pada awal 1970 an di bawah Departemen Media, Polytechnic of Central London (PCL, berubah nama menjadi Westminster University pada 1992). Pada tahun 1979, mereka menerbitkan jurnal Media, Culture and Society, yang kini sangat diperhitungkan di Eropa. Tokoh Westminster School yang punya pengaruh penting adalah Nicholas Garnham.
Dalam melihat relasi antara media dan budaya, studi-studi di Inggris menunjukkan adanya ketertarikan dengan tradisi Marxis dan kajian sastra. Akan tetapi, Karakter utama yang membedakan perspektif Westminster School dengan kelompok studi yang lain, terutama oleh Birmingham Center of Cultural Studies, adalah fokus Westminster School pada perhatiannya atas basis material dan ekonomi politik dalam membedah media dari sisi institusi, kebijakan, teknologi, dan historis. Sementara Birmingham School, tertarik untuk mengupas ideologi, diskursus tekstual dan audience, serta pengaruh dari tradisi strukturalisme sampai posmodernisme.
 Keadaan ini wajar, sebab pioner Westminster School seperti Nicholas Garnham dan Vincent Porter’s banyak terlibat sebagai praktisi media. Garnham bekerja sepuluh tahun di televisi sebagai direktur dan editor film, Vincent Porter’s adalah orang berpengalaman dalam film dokumenter.  Hal ini menunjukkan bahwa keduanya sangat paham arti penting pada alokasi sumber daya dan proses instutusional di media dalam memproduksi program. Hal ini kemudian berimplikasi pada kecenderungan tradisi Westminster School yang menekankan sisi kritis atas kebijakan, institusi dan teknologi, di mana mereka cukup percaya bahwa akademisi punya peran penting dalam membangun dunia media penyiaran secara lebih demokratis dan sehat.
Seputar Kajian Penting di Westminster School
            Tokoh Westminster School seperti Nicholas Garnham memulai pekerjaan dalam kajian media dengan melakukan kritik atas dominasi pemerintah dalam media penyiaran seperti BBC (Granham, 1973, dalam Colabrese & Sparks, 2004). Granham menganggap BBC seperti di tahun 1922, melakukan manipulasi terhadap publik untuk melayani segelintir elit. Sebab itu, visi Granham sesungguhnya adalah berupaya menyumbangkan gagasan demi transformasi struktur media penyiaran agar lebih akuntabel kepada masyarakat dan jaminan atas tenaga kerja di dalamnya.
            Granham juga sangat terpengaruh oleh gagasan Habermas, terutama dengan konsep ruang publik (public sphere). Menurutnya, model penyiaran publik seharusnya adalah pengejawantahan dari public sphere. Hal ini menuntut adanya evaluasi atas kerja dari pelayanan penyiaran publik. Di samping itu, persoalan seputar relasi antara media dan pasar juga menjadi persoalan yang perlu dirisaukan, sebab kebutuhan keuntungan bisnis, petumbuhan periklanan, dan meningkatnya oligopoli kepemilikan media, menyebabkan media (pers) mulai kehilangan semangat representasinya kepada publik. Sebab itulah perlu adanya pengaturan terkait relasi antara pasar dan media.
            Di samping itu, kajian Westminster School juga tertarik untuk melihat performa media, tentang bagaimana realitas media di lapangan dalam berbagai situasi, konflik, bencana, dan berbagai kondisi sosial politik. Selain itu, ketertarikan dalam menyikapi perkembangan teknologi komunikasi juga penting dicatat, terutama kehadiran media baru, internet. Internet bisa jadi merupakan alternaif bagi diversitas informasi dan kebebasan masyarakat secara lebih aktif menggunakan media. Akan tetapi, perluasan usaha media-media mainstream yang merambah kesana juga penting diperhatikan.
            Terakhir, tradisi Westminster juga menekankan perhatian pada sejarah media. Melihat media dari perspektif historis agaknya penting, sebab media adalah faktor penting dalam bentuk-bentuk transformasi di masyarakat modern. Dalam hal ini, factor ekonomi politik dalam sejarah media menjadi penting untuk dilibatkan, artinya sejarah media tidak cukup bercerita tentang periodisasi semata, namun melibatkan berbagai aktor yang berkepentingan dan keadaan realitas social. Misalnya, McChesney (Mosco, 2006) berupaya menyajikan sejarah atas kontrol radio di Amerika Serikat, perjuangan untuk mendapatkan keadilan dalam penggunaan ferkuensi, sangat berarti bagi kelangsungan jurnalisme dan distribusi informasi, ini juga berarti bahwa perjuangan radio adalah bagian dari perjuangan demokrasi.

Pustaka

Colabrese, Andrew, Colin Sparks (ed.), 2004, Toward Political Economy of Culture, Capitalism in the Twenty-First Century, Oxford: Rowman & Littlefield Publishers

Mosco, Vincent, 2006, The Political Economy of Communication, 2 Edtion, London: Sage.            

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Agama dan Seni, Konflik dan Kemesraan di Simpang Jalan

Oleh: Noveri Faikar Urfan         Banyak orang menganggap, bahwa agama dan seni adalah fragmen yang berbeda, sudut pandang dan paradigmanya pun akhirnya beda. Agama bukan hal yang esensial bagi seni, begitupula sebaliknya. Secara formal, agama sudah punya aturan ritualistik yang mandiri, agama juga sudah menyediakan jalan transendensi dan asketisme bagi pengikutnya.  Sedangkan seni yang masih dalam batas-batas ekletiknya, memberikan ruang artikulasi bagi ekpresi estetika. Lantas, apakah seni dan agama bisa bergandeng mesra? Tentu bisa. Pasalnya, dalam berbagai konteks kultural, ekspresi estetika telah melebur dengan tradisi keagamaan, seperti dalam ritual-ritual pemujaan. Namun, dalam beberapa kasus, seni dan agama masih tampak saling sikut , dan asimilasi kedua fragmen ini memang tidak mudah.                Dalam beberapa wujud ekspresi kesenian, agama Islam misalnya, terlihat ‘tidak akr...

Menyoal Konglomerasi Media Menguatkan Peran Regulator dan Media Penyiaran Komunitas

Oleh: Noveri Faikar Urfan             Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 Ayat 3 mengatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Bunyi konstitusi ini, memberi amanat bagi negara agar mengelola sumber daya alam demi kesejahteraan masyarakat yang sebesar-besarnya. Dalam ingatan kita, sumber daya alam yang dimaksud dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 tersebut, tentu banyak tertuju pada asset-aset bahan tambang mineral seperti minyak bumi, gas alam, emas, batu bara, dan lain-lain. Akan tetapi, ada satu jenis kekayaan alam yang yang sering dilupakan dari perhatian, kekayaan alam itu adalah frekuensi atau gelombang elektromagnetik yang lazim digunakan untuk kegiatan penyiaran dan telekomunikasi.             Frekuensi adalah satu jenis kekayaan alam yang memiliki nilai ekonom...

Mengenal Lebih Dalam Si Bapak Sosiologi

Judul Buku:  Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran,  dan Warisan Bapak Sosiologi Modern Penulis : Hanneman Samuel Penerbit : Kepik Ungu, Depok Tahun: April, 2010 Tebal: 120 halaman Emile Durkheim dikenal luas sebagai bapak sosiologi modern. Terlepas dari berbagai kritik yang dialamatkan pada pemikirannya, Emile Durkheim tetap harus dihargai karena kegigihannya untuk melepaskan sosiologi dari pengaruh filsafat dan psikologi, mendorongnya menjadi ilmu yang mandiri.            Durkheim lahir di Epinal, Prancis, 15 April 1858, dari keluarga Yahudi yang taat. Dia tergolong orang yang cukup pintar, kepandaiannya itu dibuktikan setelah dia mampu masuk di Ecole Normale de Superieure, sebuah sekolah tinggi terkemuka yang terkenal mencetak para ilmuwan besar di Prancis. Di sana Durkheim bertemu dengan para pemikir besar dalam berbagai disiplin ilmu, seperti Pierre Janet, Jean Jaures, dan Henry Bergson.       ...