Bicara tentang konten siaran televisi
bagi anak-anak, agaknya kita selalu kesulitan memberi batasan dan argumentasi yang jelas
tentang seperti apa sesungguhnya tayangan yang layak ditonton oleh anak-anak.
Tokoh kartun Sinchan misalnya, ia seusia anak, Nobita dalam kartun Doraemon juga anak-anak. Akan tetapi,
tidak cukup fair jika adanya
representasi fisik ‘anak’ dalam tontonan di televisi, kemudian digeneralisir
sebagai tayangan bagi anak-anak.
Keresahannya
nyata. Jika kita saksikan di televisi, anak seperti Sinchan bertingkah genit
tak ubahnya kelakuan orang dewasa, apakah anda masih mengira tayangan itu
pantas ditonton oleh putra-putri anda yang usianya kurang dari 9 tahun?. Belum
lagi jika dalam film kartun yang lain, ada konten-konten yang menjurus pada
tindak kekerasan atau perkelahian. Celakanya lagi, acara semacam itu (kartun
anak) tampil pada jam-jam ketika anak-anak sedang tidak di sekolah, sore hari
dan hari minggu.
Ini masih fenomena
tayangan kartun, belum lagi jika kita bicara acara televisi bersegmen dewasa,
yang di dalamnya memanfaatkan karakter anak-anak untuk mempersegar sensasi
tayangan itu, seperti dalam reality show
dewasa dan sinetron. Dalam representasi tayangan-tayangan tersebut, anak-anak
kemudian banyak terlibat dengan konflik dan kesenangan orang dewasa.
Maka, kita sesungguhnya
wajib resah sebab konten tayangan televisi banyak melibatkan anak-anak dalam
persoalan yang sesungguhnya tidak perlu jadi bagian dari mereka. Misalnya dalam
konten bermuatan pertengkaran dan perkelahian seperti dalam sinetron, atau gaya
hidup glamor seperti dalam reality show
selebritis.
Keadaan ini boleh
dibilang ironis. Sebab melesatnya laju industri media dewasa ini, tidak cukup
dibarengi dengan penghormatan atas hak anak sebagai kelompok usia dengan
kebutuhan dan karakter khusus yang tidak sama dengan, terutama orang dewasa.
Patricia Holland, dalam bukunya yang cukup menarik, Picturing Childhood, The Myth of Popular Imagery (2004), menyebut
hal ini sebagai bagian dari krisis budaya di abad komunikasi, di mana
kesenangan populer di media telah mengaburkan rasa penghormatan masyarakat atas
anak-anak.
Ingat,
Si Komo Lewat
Pada dekade 1990 an di
siaran televisi nasional, kita masih akrab dengan tayangan-tayangan anak produksi
lokal, seperti Si Komo, Boneka Suzan, Unyil, Keluarga Cemara,
serta video klip anak-anak semacam diobok-obok,
mari menabung, bolo-bolo, dan
lain-lain. Akan tetapi, memasuki dekade 2000 an, tayangan-tayangan anak tampak
mulai redup, terakhir kita masih menyaksikan film Petualangan Sherrina di tahun 2001. Setelah itu, hampir tidak ada
tayangan dengan segmen khusus anak-anak seramah seperti Si Komo dan Unyil di era
1990 an.
Era
1990 an adalah masa puncak di mana segmen anak begitu bergeliat dalam pasar
industri penyiaran di Indonesia. Mengikuti kesuksesan penjualan album-album
lagu anak di era itu, seperti Joshua, Trio Kwek-Kwek, Sherina, dan sejumlah
artis cilik yang tenar waktu itu. Era berganti, memasuki awal 2000-an, tren tayangan
anak mulai tergusur oleh tayangan populer seperti infotainment, telenovela,
sinetron, dan film anak impor dari Jepang seperti Doraemon, Ksatria Baja Hitam,
Dragon Ball, dan sejenisnya.
Seto
Mulyadi (Kak Seto), penggagas tayangan Si
Komo sempat menuturkan, bahwa terhentinya tayangan anak-anak di televisi
disebabkan oleh biaya impor film anak dari jepang cenderung lebih murah
daripada biaya produksi tayangan anak lokal seperti Si Komo (Fajar Z, Opini Kompasiana.com, 24/03/2011). Hal ini sungguh
disayangkan, sebab kita seperti kehilangan tayangan yang nilai edukasinya bisa
dipertanggungjawabkan dan ramah bagi anak-anak.
Kini, kita berada dalam
situasi krisis dan serba khawatir. Saat tayangan televisi sampai hari ini masih
dipenuhi dengan konten-konten seperti mistis, glamor, sensual, pertikaian, dan
sejenisnya, maka kita pun harus bekerja lebih ekstra untuk melindungi anak-anak
dari pengaruh tayangan yang tidak layak tonton itu.
Komodifikasi
Anak Minus Perlindungan
Belum
selesai dengan maraknya tayangan berbau mistis, glamor, pertengkaran dan
sejenisnya. Bentuk konten siaran televisi yang tak sehat bagi anak-anak, kini
muncul dengan modus-modus yang kian beragam. Salah satunya adalah komodifikasi
anak dalam sejumlah tayangan reality show.
Jika anda melihat
tayangan Suka-suka Nizam di ANTV,
anda akan menjumpai Nizam, anak berusia 8 tahun bergaul bersama
selebriti-selebriti dewasa di setiap episodnya. Anak dalam tayangan ini,
seperti dipaksa untuk dewasa lebih cepat dengan bergaul bersama gaya hidup dan
urusan-urusan pribadi selebritis.
Mirip dengan acara Suka-suka Nizam, reality show lain seperti Coboy
Junior tampak mempraktekkan komodifikasi anak dengan citra-citra populer,
seperti mengikuti tren music K-Pop ala Korea. Fenomena ini menunjukkan betapa
anak-anak kini semakin diakrabkan pada citra-citra populer dan glamor, sambil
diam-diam mereduksi kapasitas dan hak anak untuk belajar pada hal-hal positif
dan edukatif.
Sejujurnya, keadaan ini
membuat kita kian resah. Anak dalam reality
show televisi lebih ditendensikan sebagai komoditas semata, di mana,
kedudukannya kemudian direduksi hanya sebatas sebagai komoditi. Dalam
terminologi ekonomi politik, anak kemudian ditempatkan sebagai nilai guna (use value) yang selanjutnya dipoles
menjadi nilai tukar (exchange value)
(Mosco, 2006:13), hanya untuk memenuhi hasrat kepentingan industri televisi dan
hiburan orang dewasa.
Meski begitu, acara
seperti ini (suka-suka nizam) sampai
hari ini masih tayang, meski KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) sempat memberi
teguran karena acara ini dinilai menampilkan perbincangan yang tidak pantas
dilakukan di depan anak-anak, serta tidak memperhatikan perlindungan dan
pemberdayaan kepada anak.
Meskipun KPI telah
melakukan teguran pada berbagai acara yang tidak layak tonton, sesuai amanat
yang tertuang dalam aturan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program
Siaran (SPS) (kpi.go.id, 10/01/2013). Akan tetapi, kekhawatiran publik atas
acara-acara yang tidak ramah tonton tentu belum terjawab hingga hari ini.
Sebab, peran KPI sendiri dinilai masih tidak maksimal, dan terkesan hanya
sekedar memberi teguran, tanpa ada tindakan yang tegas.
Michael W. Apple, seorang Profesor Pendidikan
di Universitas Wisconsin, Madison, sempat menulis esai menarik dan prfokatif, Selling Our Children (dalam Ibrahim,
2011). Dalam esainya ini, Apple melakukan kritik atas dampak teknologi
komunikasi bagi pendidikan di AS. Aplle secara khusus mengkritik program
televisi “Channel One” yang dikecamnya sebagai pencipta khalayak terpasung (captive audience), dengan memaksakan tayangan
tertentu yang dipancarkan ke ribuan sekolah di Amerika (Ibrahim, 2011:175).
Kritik yang dilakukan
oleh Apple tentu bukannya tanpa alasan, mengingat anak-anak adalah aset yang
begitu berharga bagi kemajuan bangsa, sementara penetrasi tayangan televisi semakin kuat, sehingga masyarakat pantas resah
atas dampak buruk tayangan televisi pada pola berfikir dan tingkah laku anak.
Di Indonesia, persoalan
dampak buruk televisi bukanlah hal baru, di tahun 2006 lalu kita sempat
dikejutkan oleh meninggalnya dua orang anak di Jawa Barat akibat menirukan
adegan perkelahian dalam acara Smack Down
(Antaranews.com, 28/11/2006). Selain itu, Sunarto dalam bukunya Televisi, Kekerasan dan Perempuan (2009)
juga memotret representasi kekerasan terhadap perempuan di televisi. Hal ini
sungguh disayangkan sebab ‘kekerasan’ telah menjadi bagian tak terpisahkan dari
praktek komersialisasi dalam tayangan televisi, persis seperti yang diungkapkan
oleh Gebner (dalam Sunarto, 2009), violence
on television is an integral part of system of global marketing.
Televisi
dan Anak
Dewasa ini, anak-anak
dikelilingi oleh beragam media, banyak kalangan mengatakan bahwa anak-anak saat
ini telah hidup dalam era layar kaca (screen
culture); di mana banyak waktu tersita atau digunakan untuk berinteraksi
dengan media, baik televisi, radio, internet, video game, handphone, dan sebagainya. Anak-anak pun kian akrab
dengan penggunaan media, yang praktis akan mempengaruhi pembentukan mental
maupun interaksi sosial dalam kehidupan mereka.
Dalam keberagaman jenis
media ini, televisi tampaknya masih menjadi media yang paling dekat dan
berpengaruh bagi anak-anak, bahkan televisi sanggup mempengaruhi pola,
aktivitas, dan kehidupan anak-anak. Dalam berbagai riset, ditunjukkan bahwa
dari waktu ke waktu, tingkat konsumsi anak-anak terhadap tayangan televisi
cendernung meningkat dan resikonya anak-anak cenderung rentan terkena dampak
buruk televisi. Oleh sebab itu, John Naisbitt (2001, 117), sempat mengatakan
bahwa televisi sudah dianggap sebagai orang tua ketiga bagi anak-anak, melihat
tingginya tingkat konsumsi televisi oleh anak-anak.
Beberapa
riset mengenai pola menonton televisi pada anak menunjukkan peningkatan jumlah
jam menonton. Menurut data Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, rata-rata anak
usia SD menonton televisi 3-4 jam per hari, atau 22-26 jam tiap minggu. Pada
tahun 2006, menurut data Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) rata-rata anak
usia SD menonton televisi 25-30 jam per minggu, atau 4-5 jam perhari pada hari
biasa dan 7-8 jam pada hari minggu. Jika jam menonton televisi oleh anak-anak
ini dibandingkan dengan jam sekolah mereka, maka anak-anak bisa menghabiskan
waktu 1.500 jam per tahun untuk menonton televisi, dua kali lipat lebih tinggi
dari jam sekolah sebanyak 750 jam (YPMA, 2008).
Tingginya jam menonton televisi oleh anak-anak tentunya
memunyai resiko yang tidak bisa disepelekan, mengingat konten tayangan televisi
dewasa ini masih dipenuhi oleh materi-materi yang tidak layak konsumsi bagi
anak-anak, seperti adegan kekerasan, pelecehan, kengerian, gaya hidup glamor,
dan sebagainya. Keadaan ini salah satunya nampak berdasarkan pemaparan Kidia,
yang Baru-baru ini merilis 10 tayangan televisi yang berkategori hati-hati dan berbahaya
bagi anak-anak, salah satunya seperti Doraemon,
Bintang Idola Cilik (RCTI) dalam
kategori hati-hati, dan Crayon Sinchan
(RCTI), Tom and Jerry (ANTV) dalam
kategori bahaya (www.kidia.org, 2013).
Kondisi ini membuktikan bahwa konten tayangan
televisi di negeri ini masih belum ramah bagi anak-anak. Di tengah keadaan ini,
maka persoalan tentang dampak buruk televisi pada anak-anak tidak bisa
dikesampingkan, sebab jika dibiarkan dampak buruk televisi bisa mengakibatkan
gangguan perkembangan mental dan kondisi fisik anak. Menurut Aric Sigman,
seorang dokter yang tergabung dalam Associate
Fellow of the British Psychological
Society, bahwa obsesi anak-anak terhadap televisi,
komputer, dan video games, bisa
mengakibatkan gangguan perkembangan mental dan, dalam jangka panjang menyebabkan
gangguan fisik (Sigman, 2007).
Keadaan ini terbilang menghawatirkan, artinya ada
masalah besar di dalam diri media massa, televisi khususnya; di mana konten
tayangannya beresiko memberi dampak negatif bagi anak-anak. Selain itu, dalam
konteks anak-anak; kehadiran orang tua sebagai pendamping agaknya telah
berkurang akibat pola hidup masyarakat modern yang banyak menuntut aktivitas di
luar rumah.
Secara kultural, di tengah intervensi media yang
kian besar terhadap kehidupan anak dengan intensitas yang juga kian tinggi;
budaya baca dan budaya kritis belum terbentuk kuat, sementara budaya menonton
televisi sudah menjadi keseharian yang mengakar. Inilah salah satu penyebab di
mana masyarakat, khususnya anak-anak menjadi rentan terhadap dampak buruk
tayangan televisi. Pada dasarnya kita
juga menyayangkan belum kuatnya perhatian serius baik dari pemerintah maupun
masyarakat dalam menguatkan pengetahuan dan strategi literasi untuk membendung
atau membentengi diri dari dampak buruk media yang sudah tidak bisa dikesampingkan.
Di samping itu, media massa di negeri ini juga dalam
keadaan yang serba centang-perenang. Dalam dunia media di mana persaingan
bisnisnya kian ketat, maka berbagai upaya pun terkesan dihalalkan untuk meraih
pangsa pasar khalayak sebanyak mungkin, termasuk menggaet perhatian anak-anak
melalui tayangan-tayangan “berkedok” anak, akan tetapi dalam kenyataan acapkali
mengabaikan tanggungjawab sosial, moral, etika serta pelanggaran hak-hak
konsumen. Kondisi ini pun semakin diperparah dengan lemahnya regulasi dalam
bidang penyiaran.
Resiko
yang bisa diakibatkan dari perilaku mengkonsumsi televisi secara tidak sehat,
memang menghawatirkan. Dalam konteks ini masyarakat membutuhkan penyikapan yang
tepat, mengingat dampak negatif media, khususnya televisi tidak bisa dianggap
enteng. Dari aspek kebijakan formal, upaya untuk mendorong terselenggaranya
dunia penyiaran yang sehat dan menghargai hak-hak konsumen tentunya penting
untuk terus didorong.
Selain
itu, secara kultural upaya untuk membangun kesadaran kritis masyarakat tentang
bagaimana berinteraksi secara sehat dengan media massa, harus terus digalakkan.
Upaya kultural ini salah satunya bisa dimotori oleh gerakan literasi media (media
literacy), pemahaman tentang literasi akan penulis utarakan dalam sub bab
berikutnya; memang, literasi media sendiri adalah gerakan yang keberadaannya relatif
baru di Indonesia.
Usia
gerakan bertema literasi media memang tidak setua seperti tema gerakan yang
lain, seperti kesetaraan gender, desentralisasi politik, akuntabilitas dan
transparansi lembaga pemerintahan, media komunitas, dan sebagainya. Akan
tetapi, dalam hemat penulis keberadaan tema literasi media yang relatif masih
muda ini, setidaknya perlu direnungkan secara teoritis dan strategis. Mengingat
upaya untuk menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat dalam berinteraksi dengan
media, merupakan terobosan penting ketika kontak dengan media dewasa ini sudah
tidak terhindarkan lagi.
Literasi
Media, Menggali Sepotong Alternatif
Abad 21 adalah era yang sebagian besar dimensinya
dibentuk oleh revolusi teknologi komunikasi. Maka, pengamat sosial dan
kebudayaan yang futuris seperti Alvin Toffler, Marshal McLuhan, dan Daniel
Bell, mengidentifikasi abad ini sebagai eranya komunikasi dan informasi (DiMaggio
et.al, 2001). Seperti yang disebutkan oleh Marshall McLuhan (1994) dengan
istilahnya “global village” untuk
menggambarkan dunia yang makin sempit karena masyarakat dunia sudah terhubung
satu sama lain melalui teknologi komunikasi.
Hal ini menunjukkan
bahwa kontak dengan media bagi masyarakat dewasa ini kian tak terhindarkan. Maka
pentingnya kemampuan untuk bersikap kritis terhadap berbagai hal yang
berhubungan dengan pesan, institusi, dan penggunaan media, makin nyata
urgensinya. Tidak kalah penting, perhatian pada kontak antara media dan
anak-anak juga mestinya diperhatikan, pasalnya kini anak-anak sudah kian akrab
dan tak terpisahkan dengan berbagai bentuk teknologi informasi dan pesan-pesan
media.
Mark Prensky (2001),
menyebutkan gejala yang disebutnya digital
natives, di mana anak-anak dewasa ini sudah akrab dengan teknologi
komunikasi dan informasi sejak mereka masih dini, berbeda dengan orang dewasa
yang akrab dengan teknologi baru, ketika mereka sudah dewasa (digital immigrants). Situasi ini, seharusnya
menjadi perhatian bagi para akademisi dan pendidik untuk memikirkan penyikapan
yang tepat tentang bagaimana membangun hubungan yang sehat antara anak-anak dan
media.
Salah satu alternatif
yang sangat mungkin dilakukan adalah membangun dan menerapkan konsep dan
gerakan literasi media (media literacy).
Sebagai sebuah gerakan, usia gerakan literasi media memang relatif muda, jika
dibandingkan tema-tema gerakan sosial yang lain seperti kesetaraan gender,
demokratisasi, multikulturalisme, dan sebagainya. Meskipun relatif baru,
urgensi literasi media tampak nyata, mengingat bahwa kondisi media di Indonesia
sedang berada dalam kondisi centang perenang. Di mana media massa yang
seharusnya mengabdi untuk menunjang kepentingan publik (public interest) dan kebaikan publik (public good) justru terjebak dalam spiral logika industri dan
sirkuit akumulasi kapital.
Dalam substansi
demokratisasi media, seharusnya terejawantahkan dua prinsip yakni keberagaman
isi (diversity of content) dan
keberagaman kepemilikan (diversity of
ownership), akan tetapi kedua prinsip ini juga belum berjalan di Indonesia,
sebab utamanya adalah problem kepemilikan media di Indonesia, di mana industry
besar ini hanya dikuasai oleh segelintir pemodal tertentu. Di tengah kondisi
ini, konten media cenderung berfungsi hanya sebagai komoditas yang dijual dan
seringkali mengorbankan kelayakan dan kepentingan publik. Konten media seperti
dalam televisi justru menghamba pada logika laku-tidak laku dengan rating sebagai tolok ukurnya. Akibatnya
tayangan yang muncul di hadapan publik adalah tayangan yang menganut selera
pasar, dan belum tentu tayangan itu baik untuk publik.
Kita pun masih ingat
benar bagaimana tayangan-tayangan televisi sampai hari ini masih dipenuhi oleh
konten berbau kengerian, darah, pertengkaran, gosip, dan simulasi-simulasi yang
jauh dari realitas. Konten-konten seperti inilah yang beresiko menghadirkan
dampak buruk bagi penonton, terutama pada anak-anak sebab mereka adalah
kelompok usia yang paling rentan, sebab kecenderungannya untuk meniru masih tinggi.
Berdasarkan pemaparan ini, kita telah
melihat adanya permasalahan riil tentang dampak buruk media. Sebab itu, upaya
mendorong kesadaran kritis masyarakat dalam berinteraksi dengan media,
sekaligus untuk membendung dampak negatif media, sangat perlu digalakkan. Dalam
konteks inilah gerakan literasi media menjadi terasa urgensinya di tengah
problem media hari ini.
James Potter (2001)
mengajukan pemahaman pada literasi media, yakni sebagai perspektif yang dipakai
secara aktif dalam berhadapan dengan media, termasuk bagaimana menginterpretasi
dan mengkritisi pesan media. Bagi Potter, kunci literasi media adalah
pembangunan struktur pengetahuan yang memadai, seperti pengetahuan tentang efek
media, pesan media, industri media, dan pemahaman tentang informasi dalam dunia
nyata (real-world information).
Pengertian lain
diberikan oleh Aufderheide (dalam Hobbs,1998), literasi media adalah kemampuan
untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan media
dalam berbagai bentuknya secara luas. Baik pengertian yang diberikan oleh
Potter maupun Aufderheide, pada intinya paling tidak ada kesepakatan bahwa
literasi media selalu berhubungan dengan kecakapan dalam pengetahuan dan sikap
terkait bagaimana seseorang berinteraksi dengan media. Hal inilah yang
menjadikan literasi media dipakai oleh akademisi, aktivis dan pendidik sebagai
sebuah gerakan konkrit yang bertujuan mengembangkan kapasitas tindakan dan
sikap kritis pada media, baik media cetak, elektronik, maupun online.
Sebagai sebuah
perspekif yang berhubungan dengan kapasitas, literasi media tentu mempunyai
sasaran kepada siapa kapasitas itu akan dikembangkan. Dalam artikelnya, Seven Great Debates in the Media Literacy
Movements, Rene Hobbs (1998) menyebutkan salah satu isu penting dalam
gerakan literasi media, ia menyebutkannya dengan sebuah pertanyaan, should media literacy education aim to
protect children and young people from negatif media influences?.
Pertanyaan yang
diajukan Hobbs tentu bukan tanpa alasan. Pasalnya, tanggung jawab untuk melindungi
anak dari dampak buruk media adalah tanggung jawab yang harus diterjemahkan
secara konkret, entah oleh orang tua maupun pendidik. Sebab itu, Hobbs
sebenarnya menyinggung pentingnya integrasi pendidikan literasi media pada
upaya perlindungan anak-anak dan remaja dari dampak buruk media.
Literasi media juga
seharusnya terintegrasi sebagai kapasitas penting yang dimiliki oleh pendidik
maupun orang tua. Pendidik dan orang tua, adalah sosok penting dalam
menjalankan peran literasi media, sebab melalui upaya pendidikan dan
pendampingan sebagai tugas pendidik dan orang tua, upaya menghindarkan dampak
buruk media -terutama terhadap anak- bisa dijalankan dalam lingkup sosial
terkecil bagi anak-anak (rumah dan sekolah).
Literasi media sendiri
sebenarnya didasari oleh fondasi tentang sekumpulan pengetahuan atau dipahami
sebagai struktur pengetahuan (knowledge
structure) (Potter, 2001). Dalam upaya memahami secara kuat realitas media
dan pentingnya literasi media, maka harus dibangun struktur pengetahuan yang
kuat tentang misalnya, relasi antara media dengan masyarakat, negara,
kepemilikan, serta representasi atas pesan-pesan, dan dampaknya bagi
masyarakat. Dengan menginternalisasikan pengetahuan itu kepada subjek
(masyarakat), maka pengetahuan itu akan mengalir menjadi sikap dan mempengaruhi
perubahan ke arah yang lebih baik dalam interaksi masyarakat dengan media.
Literasi
media sendiri sebenarnya bukanlah konsep yang kaku. Artinya, konsep gerakan
literasi media haruslah dijalankan dengan mempertimbangkan konteks kultural dan
struktural di masyarakat. Sebab itu literasi media lebih tepat dipandang
sebagai suatu continuum atau degree (tingkatan), di mana masyarakat
selalu mempunyai ruang untuk mengembangkan literasi media sesuai konteks yang
ada. Secara riil tentunya gerakan literasi media harus mengembangkan dan meng-update pengetahuan tentang realitas
media terkini untuk disampaikan kepada masyarakat. Mengingat hari ini, realitas
media kian kompleks seiring perubahan sosial dan kemajuan teknologi komunikasi.
Daftar
Pustaka
DiMaggio, Paul et.al. 2001. “Social Implications of
the Internet”. Annual Review of Sociology.
Vol. 27. August 2001.
Gunter, Barrie & McAller, Jill. 1997. Children and Television (second
edition). London & New York: Routledge.
Hobbs, Rene. 1998. “Seven Great Debates in the Media
Literacy Movement”. Journal of Communication.
Winter 1998. Vol. 48 No. 1. ABI/INFORM Global.
Holland, Patricia. 2004. Picturing Our Childhood: The Myth of the Child in Popular Imagery. London: I.B.Tauris.
Ibrahim, Idi Subandi. 2011. Kritik Budaya Komunikasi: Budaya, Media, dan Gaya Hidup dalam Proses
Demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
McLuhan, Marshall. 1994. Understanding Media. Massachusetts: MIT
Press.
Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication (Second Edition). London: Sage.
Potter, James. 2001. Media Literacy (second edition).
California: Sage Publication.
Prensky, Mark. 2001.
“Digital Natives, Digital Immigrants”. On the Horizon. Vol. 9 No. 5, October 2001. MCB University Press.
Sunarto, 2009. Televisi, Kekerasan dan Perempuan. Jakarta: Kompas.
Sigman,
Aric. 2007. “Visual Voodo: The Biological Impact of Watching Television”. Biologist. Vol. 5, No. 1. February,
2007.
Syahputra, Iswandi. 2012. Rezim Media, Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment dalam
Industri Televisi. Jakarta: Gramedia.
YPMA (Yayasan Pengembangan Media Anak), Tim
Peneliti. 2011. Kumpulan Makalah Workshop
Nasional Konsep & Implementasi Media Literacy di Indonesia. Jakarta:
Dep. Ilmu Komunikasi FISIP UI.
Pemakalah Konverensi Nasional Literasi Media. 2011. Literasi Media di Indonesia: Kumpulan
Makalah Konferensi Nasional Literasi Media, Yogyakarta, 5-6 Januari 2011.
Yogyakarta: Komunikasi UII & Rumah Sinema.
_____________________________________. Lembar
Fakta: Media dalam Kehidupan Anak. Juli 2008. Jakarta: YPMA
Website
KPI, Website Resmi. 2013. Program Siaran “Suka-suka Nizam” Kena Tegur. 10 Januari 2013.
Diakses dari: http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/31043-program-saran-suka-suka-nizam-kena-tegur
tanggal 08 April 2013.
Z, Fajar. 2011. “Ketika
Si Komo Bukan Lagi Jadi Biang Kemacetan”. Edukasi Kompasiana. 24 Maret 2011. Diakses dari: http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/24/ketika-si-komo-bukan-lagi-jadi-biang-kemacetan-348499.html
tanggal 08 April 2013.
Antaranews.com. 2006. Komnas Perlindungan Anak: Stop
Tayangan “Smack Down”. 29 November 2006. Diakses dari: http://www.antaranews.com/berita/1164736735/komnas-perlindungan-anak-stop-tayangan-smackdown
tanggal 08 April 2011.
www. kidia.org. 2013. Rating Acara Televisi untuk Anak Versi Kidia (Bahaya), 30 April
2013
___________. 2013. Rating Acara Televisi untuk Anak Versi Kidia (Hati-hati), 30 April
2013
Komentar