Langsung ke konten utama

Televisi, Anak, dan Urgensi Literasi Media

Bicara tentang konten siaran televisi bagi anak-anak, agaknya kita selalu kesulitan  memberi batasan dan argumentasi yang jelas tentang seperti apa sesungguhnya tayangan yang layak ditonton oleh anak-anak. Tokoh kartun Sinchan misalnya, ia seusia anak, Nobita dalam kartun Doraemon juga anak-anak. Akan tetapi, tidak cukup fair jika adanya representasi fisik ‘anak’ dalam tontonan di televisi, kemudian digeneralisir sebagai tayangan bagi anak-anak.
            Keresahannya nyata. Jika kita saksikan di televisi, anak seperti Sinchan bertingkah genit tak ubahnya kelakuan orang dewasa, apakah anda masih mengira tayangan itu pantas ditonton oleh putra-putri anda yang usianya kurang dari 9 tahun?. Belum lagi jika dalam film kartun yang lain, ada konten-konten yang menjurus pada tindak kekerasan atau perkelahian. Celakanya lagi, acara semacam itu (kartun anak) tampil pada jam-jam ketika anak-anak sedang tidak di sekolah, sore hari dan hari minggu.
Ini masih fenomena tayangan kartun, belum lagi jika kita bicara acara televisi bersegmen dewasa, yang di dalamnya memanfaatkan karakter anak-anak untuk mempersegar sensasi tayangan itu, seperti dalam reality show dewasa dan sinetron. Dalam representasi tayangan-tayangan tersebut, anak-anak kemudian banyak terlibat dengan konflik dan kesenangan orang dewasa.
Maka, kita sesungguhnya wajib resah sebab konten tayangan televisi banyak melibatkan anak-anak dalam persoalan yang sesungguhnya tidak perlu jadi bagian dari mereka. Misalnya dalam konten bermuatan pertengkaran dan perkelahian seperti dalam sinetron, atau gaya hidup glamor seperti dalam reality show selebritis.
Keadaan ini boleh dibilang ironis. Sebab melesatnya laju industri media dewasa ini, tidak cukup dibarengi dengan penghormatan atas hak anak sebagai kelompok usia dengan kebutuhan dan karakter khusus yang tidak sama dengan, terutama orang dewasa. Patricia Holland, dalam bukunya yang cukup menarik, Picturing Childhood, The Myth of Popular Imagery (2004), menyebut hal ini sebagai bagian dari krisis budaya di abad komunikasi, di mana kesenangan populer di media telah mengaburkan rasa penghormatan masyarakat atas anak-anak.

Ingat, Si Komo Lewat
Pada dekade 1990 an di siaran televisi nasional, kita masih akrab dengan tayangan-tayangan anak produksi lokal, seperti Si Komo, Boneka Suzan, Unyil, Keluarga Cemara, serta video klip anak-anak semacam diobok-obok, mari menabung, bolo-bolo, dan lain-lain. Akan tetapi, memasuki dekade 2000 an, tayangan-tayangan anak tampak mulai redup, terakhir kita masih menyaksikan film Petualangan Sherrina di tahun 2001. Setelah itu, hampir tidak ada tayangan dengan segmen khusus anak-anak seramah seperti Si Komo dan Unyil di era 1990 an.
            Era 1990 an adalah masa puncak di mana segmen anak begitu bergeliat dalam pasar industri penyiaran di Indonesia. Mengikuti kesuksesan penjualan album-album lagu anak di era itu, seperti Joshua, Trio Kwek-Kwek, Sherina, dan sejumlah artis cilik yang tenar waktu itu. Era berganti, memasuki awal 2000-an, tren tayangan anak mulai tergusur oleh tayangan populer seperti infotainment, telenovela, sinetron, dan film anak impor dari Jepang seperti Doraemon, Ksatria Baja Hitam, Dragon Ball, dan sejenisnya.
            Seto Mulyadi (Kak Seto), penggagas tayangan Si Komo sempat menuturkan, bahwa terhentinya tayangan anak-anak di televisi disebabkan oleh biaya impor film anak dari jepang cenderung lebih murah daripada biaya produksi tayangan anak lokal seperti Si Komo (Fajar Z, Opini Kompasiana.com, 24/03/2011). Hal ini sungguh disayangkan, sebab kita seperti kehilangan tayangan yang nilai edukasinya bisa dipertanggungjawabkan dan ramah bagi anak-anak.
Kini, kita berada dalam situasi krisis dan serba khawatir. Saat tayangan televisi sampai hari ini masih dipenuhi dengan konten-konten seperti mistis, glamor, sensual, pertikaian, dan sejenisnya, maka kita pun harus bekerja lebih ekstra untuk melindungi anak-anak dari pengaruh tayangan yang tidak layak tonton itu. 

Komodifikasi Anak Minus Perlindungan
            Belum selesai dengan maraknya tayangan berbau mistis, glamor, pertengkaran dan sejenisnya. Bentuk konten siaran televisi yang tak sehat bagi anak-anak, kini muncul dengan modus-modus yang kian beragam. Salah satunya adalah komodifikasi anak dalam sejumlah tayangan reality show.
Jika anda melihat tayangan Suka-suka Nizam di ANTV, anda akan menjumpai Nizam, anak berusia 8 tahun bergaul bersama selebriti-selebriti dewasa di setiap episodnya. Anak dalam tayangan ini, seperti dipaksa untuk dewasa lebih cepat dengan bergaul bersama gaya hidup dan urusan-urusan pribadi selebritis.
Mirip dengan acara Suka-suka Nizam, reality show lain seperti Coboy Junior tampak mempraktekkan komodifikasi anak dengan citra-citra populer, seperti mengikuti tren music K-Pop ala Korea. Fenomena ini menunjukkan betapa anak-anak kini semakin diakrabkan pada citra-citra populer dan glamor, sambil diam-diam mereduksi kapasitas dan hak anak untuk belajar pada hal-hal positif dan edukatif.
Sejujurnya, keadaan ini membuat kita kian resah. Anak dalam reality show televisi lebih ditendensikan sebagai komoditas semata, di mana, kedudukannya kemudian direduksi hanya sebatas sebagai komoditi. Dalam terminologi ekonomi politik, anak kemudian ditempatkan sebagai nilai guna (use value) yang selanjutnya dipoles menjadi nilai tukar (exchange value) (Mosco, 2006:13), hanya untuk memenuhi hasrat kepentingan industri televisi dan hiburan orang dewasa.
Meski begitu, acara seperti ini (suka-suka nizam) sampai hari ini masih tayang, meski KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) sempat memberi teguran karena acara ini dinilai menampilkan perbincangan yang tidak pantas dilakukan di depan anak-anak, serta tidak memperhatikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak.
Meskipun KPI telah melakukan teguran pada berbagai acara yang tidak layak tonton, sesuai amanat yang tertuang dalam aturan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS) (kpi.go.id, 10/01/2013). Akan tetapi, kekhawatiran publik atas acara-acara yang tidak ramah tonton tentu belum terjawab hingga hari ini. Sebab, peran KPI sendiri dinilai masih tidak maksimal, dan terkesan hanya sekedar memberi teguran, tanpa ada tindakan yang tegas.
  Michael W. Apple, seorang Profesor Pendidikan di Universitas Wisconsin, Madison, sempat menulis esai menarik dan prfokatif, Selling Our Children (dalam Ibrahim, 2011). Dalam esainya ini, Apple melakukan kritik atas dampak teknologi komunikasi bagi pendidikan di AS. Aplle secara khusus mengkritik program televisi “Channel One” yang dikecamnya sebagai pencipta khalayak terpasung (captive audience), dengan memaksakan tayangan tertentu yang dipancarkan ke ribuan sekolah di Amerika (Ibrahim, 2011:175).
Kritik yang dilakukan oleh Apple tentu bukannya tanpa alasan, mengingat anak-anak adalah aset yang begitu berharga bagi kemajuan bangsa, sementara penetrasi tayangan televisi  semakin kuat, sehingga masyarakat pantas resah atas dampak buruk tayangan televisi pada pola berfikir dan tingkah laku anak.  
Di Indonesia, persoalan dampak buruk televisi bukanlah hal baru, di tahun 2006 lalu kita sempat dikejutkan oleh meninggalnya dua orang anak di Jawa Barat akibat menirukan adegan perkelahian dalam acara Smack Down (Antaranews.com, 28/11/2006). Selain itu, Sunarto dalam bukunya Televisi, Kekerasan dan Perempuan (2009) juga memotret representasi kekerasan terhadap perempuan di televisi. Hal ini sungguh disayangkan sebab ‘kekerasan’ telah menjadi bagian tak terpisahkan dari praktek komersialisasi dalam tayangan televisi, persis seperti yang diungkapkan oleh Gebner (dalam Sunarto, 2009), violence on television is an integral part of system of global marketing.

Televisi dan Anak
            Dewasa ini, anak-anak dikelilingi oleh beragam media, banyak kalangan mengatakan bahwa anak-anak saat ini telah hidup dalam era layar kaca (screen culture); di mana banyak waktu tersita atau digunakan untuk berinteraksi dengan media, baik televisi, radio, internet, video game, handphone, dan sebagainya. Anak-anak pun kian akrab dengan penggunaan media, yang praktis akan mempengaruhi pembentukan mental maupun interaksi sosial dalam kehidupan mereka.
Dalam keberagaman jenis media ini, televisi tampaknya masih menjadi media yang paling dekat dan berpengaruh bagi anak-anak, bahkan televisi sanggup mempengaruhi pola, aktivitas, dan kehidupan anak-anak. Dalam berbagai riset, ditunjukkan bahwa dari waktu ke waktu, tingkat konsumsi anak-anak terhadap tayangan televisi cendernung meningkat dan resikonya anak-anak cenderung rentan terkena dampak buruk televisi. Oleh sebab itu, John Naisbitt (2001, 117), sempat mengatakan bahwa televisi sudah dianggap sebagai orang tua ketiga bagi anak-anak, melihat tingginya tingkat konsumsi televisi oleh anak-anak.
            Beberapa riset mengenai pola menonton televisi pada anak menunjukkan peningkatan jumlah jam menonton. Menurut data Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, rata-rata anak usia SD menonton televisi 3-4 jam per hari, atau 22-26 jam tiap minggu. Pada tahun 2006, menurut data Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) rata-rata anak usia SD menonton televisi 25-30 jam per minggu, atau 4-5 jam perhari pada hari biasa dan 7-8 jam pada hari minggu. Jika jam menonton televisi oleh anak-anak ini dibandingkan dengan jam sekolah mereka, maka anak-anak bisa menghabiskan waktu 1.500 jam per tahun untuk menonton televisi, dua kali lipat lebih tinggi dari jam sekolah sebanyak 750 jam (YPMA, 2008).
            Tingginya jam menonton televisi oleh anak-anak tentunya memunyai resiko yang tidak bisa disepelekan, mengingat konten tayangan televisi dewasa ini masih dipenuhi oleh materi-materi yang tidak layak konsumsi bagi anak-anak, seperti adegan kekerasan, pelecehan, kengerian, gaya hidup glamor, dan sebagainya. Keadaan ini salah satunya nampak berdasarkan pemaparan Kidia, yang Baru-baru ini merilis 10 tayangan televisi yang berkategori hati-hati dan berbahaya bagi anak-anak, salah satunya seperti Doraemon, Bintang Idola Cilik (RCTI) dalam kategori hati-hati, dan Crayon Sinchan (RCTI), Tom and Jerry (ANTV) dalam kategori bahaya (www.kidia.org, 2013).
Kondisi ini membuktikan bahwa konten tayangan televisi di negeri ini masih belum ramah bagi anak-anak. Di tengah keadaan ini, maka persoalan tentang dampak buruk televisi pada anak-anak tidak bisa dikesampingkan, sebab jika dibiarkan dampak buruk televisi bisa mengakibatkan gangguan perkembangan mental dan kondisi fisik anak. Menurut Aric Sigman, seorang dokter yang tergabung dalam Associate Fellow of the British  Psychological Society, bahwa obsesi anak-anak terhadap televisi, komputer, dan video games, bisa mengakibatkan gangguan perkembangan mental dan, dalam jangka panjang menyebabkan gangguan fisik (Sigman, 2007).
Keadaan ini terbilang menghawatirkan, artinya ada masalah besar di dalam diri media massa, televisi khususnya; di mana konten tayangannya beresiko memberi dampak negatif bagi anak-anak. Selain itu, dalam konteks anak-anak; kehadiran orang tua sebagai pendamping agaknya telah berkurang akibat pola hidup masyarakat modern yang banyak menuntut aktivitas di luar rumah.
Secara kultural, di tengah intervensi media yang kian besar terhadap kehidupan anak dengan intensitas yang juga kian tinggi; budaya baca dan budaya kritis belum terbentuk kuat, sementara budaya menonton televisi sudah menjadi keseharian yang mengakar. Inilah salah satu penyebab di mana masyarakat, khususnya anak-anak menjadi rentan terhadap dampak buruk tayangan televisi.  Pada dasarnya kita juga menyayangkan belum kuatnya perhatian serius baik dari pemerintah maupun masyarakat dalam menguatkan pengetahuan dan strategi literasi untuk membendung atau membentengi diri dari dampak buruk media yang sudah tidak bisa dikesampingkan.
Di samping itu, media massa di negeri ini juga dalam keadaan yang serba centang-perenang. Dalam dunia media di mana persaingan bisnisnya kian ketat, maka berbagai upaya pun terkesan dihalalkan untuk meraih pangsa pasar khalayak sebanyak mungkin, termasuk menggaet perhatian anak-anak melalui tayangan-tayangan “berkedok” anak, akan tetapi dalam kenyataan acapkali mengabaikan tanggungjawab sosial, moral, etika serta pelanggaran hak-hak konsumen. Kondisi ini pun semakin diperparah dengan lemahnya regulasi dalam bidang penyiaran.
Resiko yang bisa diakibatkan dari perilaku mengkonsumsi televisi secara tidak sehat, memang menghawatirkan. Dalam konteks ini masyarakat membutuhkan penyikapan yang tepat, mengingat dampak negatif media, khususnya televisi tidak bisa dianggap enteng. Dari aspek kebijakan formal, upaya untuk mendorong terselenggaranya dunia penyiaran yang sehat dan menghargai hak-hak konsumen tentunya penting untuk terus didorong.
Selain itu, secara kultural upaya untuk membangun kesadaran kritis masyarakat tentang bagaimana berinteraksi secara sehat dengan media massa, harus terus digalakkan. Upaya kultural ini salah satunya bisa dimotori oleh gerakan literasi media (media literacy), pemahaman tentang literasi akan penulis utarakan dalam sub bab berikutnya; memang, literasi media sendiri adalah gerakan yang keberadaannya relatif baru di Indonesia.
Usia gerakan bertema literasi media memang tidak setua seperti tema gerakan yang lain, seperti kesetaraan gender, desentralisasi politik, akuntabilitas dan transparansi lembaga pemerintahan, media komunitas, dan sebagainya. Akan tetapi, dalam hemat penulis keberadaan tema literasi media yang relatif masih muda ini, setidaknya perlu direnungkan secara teoritis dan strategis. Mengingat upaya untuk menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat dalam berinteraksi dengan media, merupakan terobosan penting ketika kontak dengan media dewasa ini sudah tidak terhindarkan lagi.

Literasi Media, Menggali Sepotong Alternatif
             Abad 21 adalah era yang sebagian besar dimensinya dibentuk oleh revolusi teknologi komunikasi. Maka, pengamat sosial dan kebudayaan yang futuris seperti Alvin Toffler, Marshal McLuhan, dan Daniel Bell, mengidentifikasi abad ini sebagai eranya komunikasi dan informasi (DiMaggio et.al, 2001). Seperti yang disebutkan oleh Marshall McLuhan (1994) dengan istilahnya “global village” untuk menggambarkan dunia yang makin sempit karena masyarakat dunia sudah terhubung satu sama lain melalui teknologi komunikasi.
Hal ini menunjukkan bahwa kontak dengan media bagi masyarakat dewasa ini kian tak terhindarkan. Maka pentingnya kemampuan untuk bersikap kritis terhadap berbagai hal yang berhubungan dengan pesan, institusi, dan penggunaan media, makin nyata urgensinya. Tidak kalah penting, perhatian pada kontak antara media dan anak-anak juga mestinya diperhatikan, pasalnya kini anak-anak sudah kian akrab dan tak terpisahkan dengan berbagai bentuk teknologi informasi dan pesan-pesan media.
Mark Prensky (2001), menyebutkan gejala yang disebutnya digital natives, di mana anak-anak dewasa ini sudah akrab dengan teknologi komunikasi dan informasi sejak mereka masih dini, berbeda dengan orang dewasa yang akrab dengan teknologi baru, ketika mereka sudah dewasa (digital immigrants). Situasi ini, seharusnya menjadi perhatian bagi para akademisi dan pendidik untuk memikirkan penyikapan yang tepat tentang bagaimana membangun hubungan yang sehat antara anak-anak dan media.
Salah satu alternatif yang sangat mungkin dilakukan adalah membangun dan menerapkan konsep dan gerakan literasi media (media literacy). Sebagai sebuah gerakan, usia gerakan literasi media memang relatif muda, jika dibandingkan tema-tema gerakan sosial yang lain seperti kesetaraan gender, demokratisasi, multikulturalisme, dan sebagainya. Meskipun relatif baru, urgensi literasi media tampak nyata, mengingat bahwa kondisi media di Indonesia sedang berada dalam kondisi centang perenang. Di mana media massa yang seharusnya mengabdi untuk menunjang kepentingan publik (public interest) dan kebaikan publik (public good) justru terjebak dalam spiral logika industri dan sirkuit akumulasi kapital.
Dalam substansi demokratisasi media, seharusnya terejawantahkan dua prinsip yakni keberagaman isi (diversity of content) dan keberagaman kepemilikan (diversity of ownership), akan tetapi kedua prinsip ini juga belum berjalan di Indonesia, sebab utamanya adalah problem kepemilikan media di Indonesia, di mana industry besar ini hanya dikuasai oleh segelintir pemodal tertentu. Di tengah kondisi ini, konten media cenderung berfungsi hanya sebagai komoditas yang dijual dan seringkali mengorbankan kelayakan dan kepentingan publik. Konten media seperti dalam televisi justru menghamba pada logika laku-tidak laku dengan rating sebagai tolok ukurnya. Akibatnya tayangan yang muncul di hadapan publik adalah tayangan yang menganut selera pasar, dan belum tentu tayangan itu baik untuk publik.
Kita pun masih ingat benar bagaimana tayangan-tayangan televisi sampai hari ini masih dipenuhi oleh konten berbau kengerian, darah, pertengkaran, gosip, dan simulasi-simulasi yang jauh dari realitas. Konten-konten seperti inilah yang beresiko menghadirkan dampak buruk bagi penonton, terutama pada anak-anak sebab mereka adalah kelompok usia yang paling rentan, sebab kecenderungannya untuk meniru masih tinggi.
            Berdasarkan pemaparan ini, kita telah melihat adanya permasalahan riil tentang dampak buruk media. Sebab itu, upaya mendorong kesadaran kritis masyarakat dalam berinteraksi dengan media, sekaligus untuk membendung dampak negatif media, sangat perlu digalakkan. Dalam konteks inilah gerakan literasi media menjadi terasa urgensinya di tengah problem media hari ini.
James Potter (2001) mengajukan pemahaman pada literasi media, yakni sebagai perspektif yang dipakai secara aktif dalam berhadapan dengan media, termasuk bagaimana menginterpretasi dan mengkritisi pesan media. Bagi Potter, kunci literasi media adalah pembangunan struktur pengetahuan yang memadai, seperti pengetahuan tentang efek media, pesan media, industri media, dan pemahaman tentang informasi dalam dunia nyata (real-world information).
Pengertian lain diberikan oleh Aufderheide (dalam Hobbs,1998), literasi media adalah kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan mengkomunikasikan pesan media dalam berbagai bentuknya secara luas. Baik pengertian yang diberikan oleh Potter maupun Aufderheide, pada intinya paling tidak ada kesepakatan bahwa literasi media selalu berhubungan dengan kecakapan dalam pengetahuan dan sikap terkait bagaimana seseorang berinteraksi dengan media. Hal inilah yang menjadikan literasi media dipakai oleh akademisi, aktivis dan pendidik sebagai sebuah gerakan konkrit yang bertujuan mengembangkan kapasitas tindakan dan sikap kritis pada media, baik media cetak, elektronik, maupun online.
Sebagai sebuah perspekif yang berhubungan dengan kapasitas, literasi media tentu mempunyai sasaran kepada siapa kapasitas itu akan dikembangkan. Dalam artikelnya, Seven Great Debates in the Media Literacy Movements, Rene Hobbs (1998) menyebutkan salah satu isu penting dalam gerakan literasi media, ia menyebutkannya dengan sebuah pertanyaan, should media literacy education aim to protect children and young people from negatif media influences?.
Pertanyaan yang diajukan Hobbs tentu bukan tanpa alasan. Pasalnya, tanggung jawab untuk melindungi anak dari dampak buruk media adalah tanggung jawab yang harus diterjemahkan secara konkret, entah oleh orang tua maupun pendidik. Sebab itu, Hobbs sebenarnya menyinggung pentingnya integrasi pendidikan literasi media pada upaya perlindungan anak-anak dan remaja dari dampak buruk media.
Literasi media juga seharusnya terintegrasi sebagai kapasitas penting yang dimiliki oleh pendidik maupun orang tua. Pendidik dan orang tua, adalah sosok penting dalam menjalankan peran literasi media, sebab melalui upaya pendidikan dan pendampingan sebagai tugas pendidik dan orang tua, upaya menghindarkan dampak buruk media -terutama terhadap anak- bisa dijalankan dalam lingkup sosial terkecil bagi anak-anak (rumah dan sekolah).
Literasi media sendiri sebenarnya didasari oleh fondasi tentang sekumpulan pengetahuan atau dipahami sebagai struktur pengetahuan (knowledge structure) (Potter, 2001). Dalam upaya memahami secara kuat realitas media dan pentingnya literasi media, maka harus dibangun struktur pengetahuan yang kuat tentang misalnya, relasi antara media dengan masyarakat, negara, kepemilikan, serta representasi atas pesan-pesan, dan dampaknya bagi masyarakat. Dengan menginternalisasikan pengetahuan itu kepada subjek (masyarakat), maka pengetahuan itu akan mengalir menjadi sikap dan mempengaruhi perubahan ke arah yang lebih baik dalam interaksi masyarakat dengan media.
            Literasi media sendiri sebenarnya bukanlah konsep yang kaku. Artinya, konsep gerakan literasi media haruslah dijalankan dengan mempertimbangkan konteks kultural dan struktural di masyarakat. Sebab itu literasi media lebih tepat dipandang sebagai suatu continuum atau degree (tingkatan), di mana masyarakat selalu mempunyai ruang untuk mengembangkan literasi media sesuai konteks yang ada. Secara riil tentunya gerakan literasi media harus mengembangkan dan meng-update pengetahuan tentang realitas media terkini untuk disampaikan kepada masyarakat. Mengingat hari ini, realitas media kian kompleks seiring perubahan sosial dan kemajuan teknologi komunikasi.

Daftar Pustaka

DiMaggio, Paul et.al. 2001. “Social Implications of the Internet”. Annual Review of Sociology. Vol. 27. August 2001.
Gunter, Barrie & McAller, Jill. 1997. Children and Television (second edition). London & New York: Routledge.
Hobbs, Rene. 1998. “Seven Great Debates in the Media Literacy Movement”. Journal of Communication. Winter 1998. Vol. 48 No. 1. ABI/INFORM Global.
Holland, Patricia. 2004. Picturing Our Childhood: The Myth of the Child in Popular   Imagery. London: I.B.Tauris.
Ibrahim, Idi Subandi. 2011. Kritik Budaya Komunikasi: Budaya, Media, dan Gaya Hidup dalam Proses Demokratisasi di Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra.
McLuhan, Marshall. 1994. Understanding Media. Massachusetts: MIT Press.
Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication (Second Edition). London: Sage.
Potter, James. 2001. Media Literacy (second edition). California: Sage Publication.
Prensky, Mark. 2001.  “Digital Natives, Digital Immigrants”. On the Horizon. Vol. 9 No. 5, October 2001. MCB University Press.
Sunarto, 2009. Televisi, Kekerasan dan Perempuan. Jakarta: Kompas.
Sigman, Aric. 2007. “Visual Voodo: The Biological Impact of Watching Television”. Biologist. Vol. 5, No. 1. February, 2007.
Syahputra, Iswandi. 2012. Rezim Media, Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment dalam Industri Televisi. Jakarta: Gramedia.
YPMA (Yayasan Pengembangan Media Anak), Tim Peneliti. 2011. Kumpulan Makalah Workshop Nasional Konsep & Implementasi Media Literacy di Indonesia. Jakarta: Dep. Ilmu Komunikasi FISIP UI.
Pemakalah Konverensi Nasional Literasi Media. 2011. Literasi Media di Indonesia: Kumpulan Makalah Konferensi Nasional Literasi Media, Yogyakarta, 5-6 Januari 2011. Yogyakarta: Komunikasi UII & Rumah Sinema.
_____________________________________.  Lembar Fakta: Media dalam Kehidupan Anak. Juli 2008. Jakarta: YPMA

Website
KPI, Website Resmi. 2013. Program Siaran “Suka-suka Nizam” Kena Tegur. 10 Januari 2013. Diakses dari: http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/31043-program-saran-suka-suka-nizam-kena-tegur tanggal 08 April 2013.
Z, Fajar. 2011. “Ketika Si Komo Bukan Lagi Jadi Biang Kemacetan”. Edukasi Kompasiana.  24 Maret 2011. Diakses dari: http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/24/ketika-si-komo-bukan-lagi-jadi-biang-kemacetan-348499.html tanggal 08 April 2013.
Antaranews.com. 2006. Komnas Perlindungan Anak: Stop Tayangan “Smack Down”. 29 November 2006. Diakses dari: http://www.antaranews.com/berita/1164736735/komnas-perlindungan-anak-stop-tayangan-smackdown tanggal 08 April 2011.
www. kidia.org. 2013. Rating Acara Televisi untuk Anak Versi Kidia (Bahaya), 30 April 2013

___________. 2013. Rating Acara Televisi untuk Anak Versi Kidia (Hati-hati), 30 April 2013 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Agama dan Seni, Konflik dan Kemesraan di Simpang Jalan

Oleh: Noveri Faikar Urfan         Banyak orang menganggap, bahwa agama dan seni adalah fragmen yang berbeda, sudut pandang dan paradigmanya pun akhirnya beda. Agama bukan hal yang esensial bagi seni, begitupula sebaliknya. Secara formal, agama sudah punya aturan ritualistik yang mandiri, agama juga sudah menyediakan jalan transendensi dan asketisme bagi pengikutnya.  Sedangkan seni yang masih dalam batas-batas ekletiknya, memberikan ruang artikulasi bagi ekpresi estetika. Lantas, apakah seni dan agama bisa bergandeng mesra? Tentu bisa. Pasalnya, dalam berbagai konteks kultural, ekspresi estetika telah melebur dengan tradisi keagamaan, seperti dalam ritual-ritual pemujaan. Namun, dalam beberapa kasus, seni dan agama masih tampak saling sikut , dan asimilasi kedua fragmen ini memang tidak mudah.                Dalam beberapa wujud ekspresi kesenian, agama Islam misalnya, terlihat ‘tidak akr...

Menyoal Konglomerasi Media Menguatkan Peran Regulator dan Media Penyiaran Komunitas

Oleh: Noveri Faikar Urfan             Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 Ayat 3 mengatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Bunyi konstitusi ini, memberi amanat bagi negara agar mengelola sumber daya alam demi kesejahteraan masyarakat yang sebesar-besarnya. Dalam ingatan kita, sumber daya alam yang dimaksud dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 tersebut, tentu banyak tertuju pada asset-aset bahan tambang mineral seperti minyak bumi, gas alam, emas, batu bara, dan lain-lain. Akan tetapi, ada satu jenis kekayaan alam yang yang sering dilupakan dari perhatian, kekayaan alam itu adalah frekuensi atau gelombang elektromagnetik yang lazim digunakan untuk kegiatan penyiaran dan telekomunikasi.             Frekuensi adalah satu jenis kekayaan alam yang memiliki nilai ekonom...

Mengenal Lebih Dalam Si Bapak Sosiologi

Judul Buku:  Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran,  dan Warisan Bapak Sosiologi Modern Penulis : Hanneman Samuel Penerbit : Kepik Ungu, Depok Tahun: April, 2010 Tebal: 120 halaman Emile Durkheim dikenal luas sebagai bapak sosiologi modern. Terlepas dari berbagai kritik yang dialamatkan pada pemikirannya, Emile Durkheim tetap harus dihargai karena kegigihannya untuk melepaskan sosiologi dari pengaruh filsafat dan psikologi, mendorongnya menjadi ilmu yang mandiri.            Durkheim lahir di Epinal, Prancis, 15 April 1858, dari keluarga Yahudi yang taat. Dia tergolong orang yang cukup pintar, kepandaiannya itu dibuktikan setelah dia mampu masuk di Ecole Normale de Superieure, sebuah sekolah tinggi terkemuka yang terkenal mencetak para ilmuwan besar di Prancis. Di sana Durkheim bertemu dengan para pemikir besar dalam berbagai disiplin ilmu, seperti Pierre Janet, Jean Jaures, dan Henry Bergson.       ...