Langsung ke konten utama

Rokok, dari Asma sampai Devisa



Awalnya dari kota Kudus, rokok kretek digunakan sebagai obat penyakit asma. Kini, cukai rokok adalah salah satu penyumbang devisa terbesar bagi negara.

            Kisah bermula dari seorang putra asli Kudus, namanya Haji Djamhari. Ia menderita sesak nafas atau penyakit asma. Sebagai bahan terapi, awalnya Haji Djamhari hanya mengoleskan minyak cengkeh ke dadanya. Mendapati kondisi tubuhnya membaik, ia pun memakan biji-biji cengkeh kering. Merasa kurang nikmat, Haji Djamhari lalu mencampur potongan cengkeh kering dengan rajangan tembakau, kemudian melintingnya menjadi rokok untuk dihisap. Syahdan, dengan menghisap campuran potongan cengkeh kering dan rajangan tembakau itu, penyakit asma Haji Djamhari pun reda.
            Dari peristiwa itu, Haji Djamhari lantas percaya bahwa campuran hasil eksperimennya ini bermanfaat untuk mengobati penyakit asma, lalu ia pun mempopulerkannya kepada teman-temannya di tahun 1870. Tak lama setelah itu, campuran rajangan tembakau dan potongan cengkeh kering yang dilinting, dibakar dan hisap, lazim disebut kretek. Karena saat dihisap suaranya akan meretih dan terdengar bunyinya kre-tek.

Mengingat Nitisemito
Dua bangunan itu, bentuk dan arsitekturnya hampir sama persis, letaknya ada di sisi timur dan barat kali Genis, Jl. Sunan Kudus, Kota Kudus. Warga sekitar menyebutnya Omah kembar, atau Istana Kembar. Meski kondisinya tidak cukup terawat, rumah itu memiliki nilai historis yang besar. Sebab dulunya, bangunan itu adalah simbol kebesaran sang raja kretek, Nitisemito. Rumah kembar itu dibangun untuk kedua anaknya, Nahari dan Nasilah.
Pada masa jayanya, Nitisemito adalah pengusaha kretek yang luar biasa. Pabrik rokok kretek merek Bal Tiga miliknya, pernah mempekerjakan 10 ribu karyawan dan memproduksi 10 juta batang rokok kretek perharinya. Nitisemito pun dianggap sebagai pelopor industri rokok di kudus, hingga muncul perusahaan-perusahaan rokok besar seperti Djarum, PR Sukun, Djambu Bol, dan Nojorono.
            Menjelang perang dunia dua, kejayaan Nitisemito mulai redup. Kondisi ekonomi politik di masa Jepang dengan penetapan pajak yang terlalu tinggi, persaingan yang kian ketat dan adanya konflik keluarga, membuat perusahaan kretek Nitisemito akhirnya gulung tikar di Tahun 1943. Akan tetapi, jasa Nitisemito tidak bisa dilupakan, sebab dari industri kretek yang dipeloporinya, kini Kudus menjadi salah satu sentra industri rokok terbesar di Indonesia.
            Foto dan sejumlah peninggalan Nitisemito pun kini diabadikan di Museum Kretek, bersama beberapa nama besar dalam industri kretek di Kudus, seperti Koo Oje’e (P.R Nojorono, 1935), Mc. Wartono (P.R Sukun, 1948) dan H.A Ma’ruf (P.R Djambu Bol, 1937). Saat tim Desa Nusantara berkunjung kesana, kepala Museum Kretek, Suyanto bercerita banyak tentang masa-masa keruntuhan Nitisemito. “Saat itu persaingan  industri kretek makin ketat, sementara di dalam keluarga Nitisemito juga terjadi konflik, puncaknya ketika Jepang datang, sejumlah pabrik dan mobil angkutan Nitisemito dirampas oleh Jepang”, tutur Suyono.

Membuka Lapangan Kerja
Kini, Kudus menjadi sentra industri rokok yang berhasil menyumbang devisa sangat besar bagi negara. Kantor Bea dan Cukai Kudus yang mengkoordinasi pajak cukai di wilayah Kudus, Pati, Jepara, Blora dan Rembang, mengakui bahwa pajak cukai rokok di wilayahnya telah menghasilkan devisa yang sangat besar. Di tahun 2011 lalu, pajak cukai di daerah ini mencapai angka Rp. 18, 6 triliun, dan ditargentkan pada Desember 2012 ini akan menyentuh angka hingga Rp. 20 triliun
Jumlah devisa yang luar biasa itu, sebagian besar memang diperoleh dari industri rokok yang ada di sekitar kota Kudus. Sebab sebagian besar pabrik rokok dalam cakupan Dirjen Bea dan Cukai Kudus, sebagian ada di kabupaten Kudus. Menurut Dirjen Bea dan Cukai Kudus, pihaknya kini melayani 138 pabrik rokok yang tersebar di wilayah Kudus, Jepara, Rembang, Pati dan Blora. Sebagian besar pabrik itu ada di Kudus, terhitung sebanyak 102 pabrik, berikutnya ada 22 di Jepara, 12 di Pati, sementara di Rembang dan Blora masing-masing ada 1 pabrik.
Selain itu, industri rokok di Kudus juga berkaitan penting dengan kegiatan ekonomi masyarakatnya. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kudus mengungkapkan bahwa ada sekitar 90.000 tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya pada perusahaan rokok. Rata-rata mereka bekerja pada pabrik-pabrik rokok besar seperti Djarum, Nojorono, dan P.R Sukun. Sementara yang lain tersebar pada ratusan perusahaan rokok tingkat menengah dan kecil (rumahan).
Banyak di antara para pekerja itu yang sudah menekuni pekerjaannya selama puluhan tahun. Salah satunya Maryatun, wanita paruh baya yang bekerja di P.T Pamor, Kudus itu, sudah menekuni profesinya sebagai pelinting rokok selama 20 tahun. Setiap hari ia harus berangkat dari rumahnya pukul 04.30 pagi, dan bekerja dari jam 05.00 hingga 08.00 pagi, jika ada kerja lembur bisa sampai pukul 12.00 siang. Sebagai pekerja borongan ia harus melinting rokok sebanyak-banyaknya, makin banyak ia meghasilkan lintingan, makin besar pula upahnya. Dalam sehari ia bisa menghasilkan 2000 linting rokok, dengan upah Rp. 20.000, “Sehari kira-kira 2000 linting, upahnya 20.000”, kata Maryatun.
Selain menghadirkan lapangan kerja bagi tenaga pekerja di pabrik, adanya pabrik-pabrik rokok di Kudus juga memberi peluang bagi menggeliatnya kegiatan ekonomi sektor informal. Hal ini ditandakan dengan adanya pasar-pasar dadakan atau pasar tiban, yang ada hampir di setiap kawasan dekat pabrik rokok besar. Banyak warga memanfaatkan keramaian pekerja di pabrik rokok untuk menjual dagangannya. Umumnya, pasar tiban itu ada pada sore hari, menjelang tenaga kerja keluar dari pabrik.
Salah satu lokasi pasar tiban, ada di depan pintu keluar pabrik rokok Nojorono. Tiap sore, kawasan itu selalu ramai dengan aktivitas jual beli layaknya di pasar pada umumnya. Salah seorang pedagang di kawasan itu adalah Nuruddin, ia menjual pakaian dengan berkeliling ke setiap pasar tiban di sekitar pabrik-pabrik rokok. Pria 29 tahun itu, mengaku mendapat keuntungan dari adanya pasar tiban ini, “yang beli ya orang pabrik, hasilnya lumayan, paling tidak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ungkap Nuruddin.

Nasib Industri Kecil ?
Sebelum ditertibkan oleh Direktorat Bea dan Cukai Kudus, di tahun 2007 ada 2247 pabrik rokok yang sebagian besar adalah pabrik kecil atau industri rumahan. Setelah ditertibkan dan diatur dengan standar kelayakan, kini di tahun 2012 hanya tinggal 102 perusahaan rokok di kabupaten Kudus yang terdaftar di Dirjen Bea dan Cukai Kudus. Karena adanya berbagai peraturan yang kian ketat dan persaingan usaha yang deras, membuat banyak industri rokok kecil di Kudus gulung tikar.
Perusahaan rokok skala kecil, memang dihimpit oleh masalah yang rumit. Seperti soal aturan kelayakan usaha yang tidak mampu terpenuhi, kurangnya bahan baku dan penetapan tarif cukai rokok yang terus naik.  Masalah ini tampak nyata, seperti yang dihadapi oleh Choirul Huda. Pemilik pabrik rokok rumahan di sekitar komplek Masjid Menara Kudus itu, mengaku bahwa usahanya dihimpit oleh sejumlah persoalan. Huda tergolong beruntung, diantara ribuan pabrik kecil lain yang gulung tikar, ia masih bisa bertahan.
Masalah yang dialami industri rokok kecil, misalnya adalah kelangkaan bahan baku. Huda mengaku, dalam seminggu ia tidak selalu memperoleh stok tembakau. Sebab, sebagian besar tembakau di pasaran sudah diborong oleh industri besar, ia pun hanya memperoleh tembakau sisa dari pedagang lokal, dengan kualitas yang jauh dibandingkan tembakau yang diborong perusahaan besar.  
Sulitnya mendapatkan bahan baku, membuat pabrik kretek milik Choirul Huda, tidak rutin melakukan produksi. Jika sedang produksi, pabriknya mampu memproduksi 9.600 batang kretek perharinya, dengan dibantu oleh 13 karyawan. Harga Jual Eceran (HJE) rokok produksi Huda di pasaran sebesar Rp. 4.025 per bungkus, dalam sebulan pabriknya bisa memproduksi sekitar 12.000 bungkus, dengan 12 batang di dalamnya, jika ditotal nilai produksi menjadi kira-kira Rp. 48 Juta. Jumlah tersebut masih harus dipotong oleh oleh PPN (Pajak Pertambahan Nilai) 8,4% per bungkusnya, sementara tarif cukai sebesar Rp. 75 per batang, dan sewaktu-waktu akan terus naik.
Dari potongan PPN, terjadi pengurangan sebesar kira-kira Rp. 4 juta. Sedangkan potongan cukai sebesar Rp. 75 per batang, mengurangi nilai produksi sebesar Rp. 11 Juta. Jadi, nilai produksi yang diperoleh Huda setelah dikurangi PPN dan Cukai, sebesar Rp. 33 juta. Jumlah itu pun masih harus dikurangi oleh biaya bahan baku, distribusi dan upah pekerja pabrik. Keadaan ini membuat usaha milik Huda cukup kewalahan, sebab biaya produksi yang tinggi tidak diiringi oleh keuntungan yang sepadan. Huda pun mengaku, tidak berani untuk menaikkan Harga Jual Eceran rokok produksinya, sebab kualitasnya yang kalah jika dibandingkan oleh rokok-rokok yang sudah punya nama. “Naik Rp.500 saja, orang sudah ribut, kalau saya menaikkan harga, saya kuatir rokok saya tidak laku di pasaran”, tutur Huda.
Tentunya, apa yang dirasakan oleh Choirul Huda, juga dirasakan oleh puluhan pabrik kecil yang ada di wilayah kabupaten Kudus. Masalah ini, sebenarnya juga didengar oleh pihak Direktorat Bea dan Cukai Kudus, sebagai pelaksana peraturan tentang cukai rokok. Zaini Rasidi, Kasubsi Layanan Informasi Dirjen Bea dan Cukai Kudus menanggapinya, Rasidi mengatakan  “imbas dari kenaikan tarif cukai, memang paling dirasakan oleh industri kecil, tapi harus diingat bahwa rokok adalah barang yang harus dibatasi peredarannya, salah satunya melalui tarif cukai”, tutur Rasidi.  



*Pernah dimuat dalam Desa Nusantara Magazine, Februari 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Agama dan Seni, Konflik dan Kemesraan di Simpang Jalan

Oleh: Noveri Faikar Urfan         Banyak orang menganggap, bahwa agama dan seni adalah fragmen yang berbeda, sudut pandang dan paradigmanya pun akhirnya beda. Agama bukan hal yang esensial bagi seni, begitupula sebaliknya. Secara formal, agama sudah punya aturan ritualistik yang mandiri, agama juga sudah menyediakan jalan transendensi dan asketisme bagi pengikutnya.  Sedangkan seni yang masih dalam batas-batas ekletiknya, memberikan ruang artikulasi bagi ekpresi estetika. Lantas, apakah seni dan agama bisa bergandeng mesra? Tentu bisa. Pasalnya, dalam berbagai konteks kultural, ekspresi estetika telah melebur dengan tradisi keagamaan, seperti dalam ritual-ritual pemujaan. Namun, dalam beberapa kasus, seni dan agama masih tampak saling sikut , dan asimilasi kedua fragmen ini memang tidak mudah.                Dalam beberapa wujud ekspresi kesenian, agama Islam misalnya, terlihat ‘tidak akr...

Menyoal Konglomerasi Media Menguatkan Peran Regulator dan Media Penyiaran Komunitas

Oleh: Noveri Faikar Urfan             Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 Ayat 3 mengatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Bunyi konstitusi ini, memberi amanat bagi negara agar mengelola sumber daya alam demi kesejahteraan masyarakat yang sebesar-besarnya. Dalam ingatan kita, sumber daya alam yang dimaksud dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 tersebut, tentu banyak tertuju pada asset-aset bahan tambang mineral seperti minyak bumi, gas alam, emas, batu bara, dan lain-lain. Akan tetapi, ada satu jenis kekayaan alam yang yang sering dilupakan dari perhatian, kekayaan alam itu adalah frekuensi atau gelombang elektromagnetik yang lazim digunakan untuk kegiatan penyiaran dan telekomunikasi.             Frekuensi adalah satu jenis kekayaan alam yang memiliki nilai ekonom...

Mengenal Lebih Dalam Si Bapak Sosiologi

Judul Buku:  Emile Durkheim, Riwayat, Pemikiran,  dan Warisan Bapak Sosiologi Modern Penulis : Hanneman Samuel Penerbit : Kepik Ungu, Depok Tahun: April, 2010 Tebal: 120 halaman Emile Durkheim dikenal luas sebagai bapak sosiologi modern. Terlepas dari berbagai kritik yang dialamatkan pada pemikirannya, Emile Durkheim tetap harus dihargai karena kegigihannya untuk melepaskan sosiologi dari pengaruh filsafat dan psikologi, mendorongnya menjadi ilmu yang mandiri.            Durkheim lahir di Epinal, Prancis, 15 April 1858, dari keluarga Yahudi yang taat. Dia tergolong orang yang cukup pintar, kepandaiannya itu dibuktikan setelah dia mampu masuk di Ecole Normale de Superieure, sebuah sekolah tinggi terkemuka yang terkenal mencetak para ilmuwan besar di Prancis. Di sana Durkheim bertemu dengan para pemikir besar dalam berbagai disiplin ilmu, seperti Pierre Janet, Jean Jaures, dan Henry Bergson.       ...