Saya
teringat, sedikit keresahan intelektual dari Prof. Kuntowijoyo. Tahun 2003
(sebelum beliau wafat), di prakata bukunya ‘Islam
sebagai ilmu’. Intelektual sekaligus budayawan kita ini bercerita, bahwa
sempat membaca makalah kongres psikologi
Islam, 10 0ktober 2003 di Solo milik isterinya. Lantas beliau menilai, bahwa
dalam gerakan psikologi Islami ternyata masih tercium bau-bau ‘Islamisasi
pengetahuan’. Menurut salah seorang temannya, ‘Islamisasi psikologi’ sama saja
seperti ‘Islamisasi sepotong daging’, ibarat daging potongan sunat yang sudah
tidak utuh lagi, lalu diberi label Islam[1].
Memang sedikit lucu, sebuah gerakan
intelektual yang konon bercita-cita ingin menjadi madzab ke 5 dalam konstelasi
madzhab psikologi itu[2]
, dipersamakan dengan sepotong daging, apalagi dia membawa nama yang tidak
sembarangan, ‘Islam’ sesosok agama samawi yang sangat tersohor karena diimani 2
milyar orang se dunia.
Saya pribadi tidak lantas percaya
dengan penilaian itu, buru-buru saya koleksi 3 buku yang bertemakan Psikologi
Islami, diantaranya: Agenda Psikologi
Islami (2002), Potensi-Potensi
Manusia, Seri Psikologi Islami (2003), dan Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi
(1994), ketiga buku ini adalah karya dari H. Fuad Nashori, Dekan sekaligus
pengembang Psikologi Islami di Kampus Psikologi UII, satu buku lagi ditulisnya
bersama Dr. Djamaludin Ancok.
Setelah sedikit-banyak membaca.
Jujur saja, muncul banyak rasa janggal dalam benak saya, saat mencoba
mengobyektifikasi konsep-konsep psikologi Islami dengan nilai, pengalaman, dan pengetahuan yang terhimpun
dalam otak saya. Mulai dari latar belakang gerakan ini, visinya, metode ilmiah,
sampai pada tafsir-tafsir islam normatif yang di tawarkan, rasanya cukup sulit
untuk diterima sebagai gerakan intelektual yang menggairahkan.
Jangkauan Legitimasi
Kesan pertama saya, Psikologi Islami
masih ‘bingung’. Dibanding dengan aliran-aliran psikologi lain yang sudah
mapan. Behaviorisme, Psikoanalisa, Psikologi Humanis, dan Psikologi Kognitif,
di mana karakter epistemologisnya sudah jelas, psikologi Islami justru masih
berputar-putar soal hubungan kasus-kasus dari sudut pandang psikologi secara
umum dan dikaitkan dengan ayat qur’an maupun hadist.
Harapan saya jelas gugur, padahal asumsi saya,
psikologi Islami adalah ‘proyek intelektual pembangunan ‘teori baru’. Ternyata
bukan, dia hanya bermain mencocok-cocokan hal-hal yang sudah ada, (psikologi
dan tafsir keislaman), celakanya lagi, permainan ini kelihatan aneh (wagu). Pasalnya, pemakaian ayat
al-qur’an atau hadist dalam buku-buku Psikologi Islami, terlalu deterministik,
simplistis, terkesan ‘asal comot’, dan kontradiktif.
Penilaian ini bukannya tidak berdasar, karena saya
tidak melihat adanya upaya serius dalam mendudukkan teks Al-qur’an maupun
Hadist ke dalam teks lain (intertekstual). Jika teks-teks keislaman dibaca
dalam kerangka pengembangan ‘ilmu psikologi’, pertanyaan besarnya, prosedur
seperti apa yang digunakan untuk mempertemukan kedua fragmen yang berbeda ini?
Jika dilihat dari metodologi tafsir, ada semacam
tatacara yang harus dijajaki oleh seorang penafsir (mufassir) sebelum hasil sintesisnya dapat diterima. Dalam
metodologi tafsir setidaknya dibutuhkan tiga pendekatan, yakni: aspek linguistik
(nahwu, shorof, balaghoh) dan aspek
historiografi (azbabunnuzul dan azbabulwurud), serta pentingnya
obyektifikasi pada kondisi sosio-kultural tertentu[3].
Dalam kajian Psikologi Islami, saya tidak menemukan
upaya ini, dan apakah hasil sintesis intertekstual antara teks Psikologi dan
Al-qur’an, Hadist, yang menghasilkan ‘gerakan psikologi Islami’, bisa diterima
sebagai perpaduan yang sahih?
Upaya Paradigmatik yang Masih Gamang
Psikologi adalah Ilmu yang bertujuan untuk memahami
tingkahlaku manusia (human behaviour)
di dalamnya ada berbagai macam varian yang berpengaruh secara determinan maupun
tidak, tergantung spesifikasi asumsi dari beberapa madzhab yang ada. Seperti
faktor ketidaksadaran (psikoanalisa), faktor lingkungan (behaviourisme),
Beberapa madzhab yang ada dalam Psikologi semuanya
bisa dikategorikan sebagai madzhab dalam ilmu pengetahuan, karena syarat-syarat spesifiknya memang sudah terpenuhi dan bisa
dilacak. Seperti pengetahuan (knowledge)
yang didapat dari penggunaan panca indra, tersusun secara sistematis,
menggunakan pemikiran (bukan keyakinan semata), dan dapat dikontrol secara
kritis oleh orang lain[4].
Sementara itu,
psikologi Islami secara sederhana bisa didefinisikan, sebagai kajian Psikologi
yang mengambil wacana Islam sebagai titik referensi utama.
Yang cukup tidak proporsional adalah, kritik-kritik
psikologi Islami terhadap psikologi barat. Saya kira ada ketakutan berlebih dan
dibuat-dibuat, seolah-olah asumsi psikologi barat adalah ‘barang berbahaya’,
padahal perkembangan psikologi sampai besar dewasa ini tidak salah adalah jasa
dari pemikir terdahulu.
Soal adanya kegundahan terhadap asumsi teori barat
yang dianggap menyesatkan, seperti Psikoanalisa yang menganggap kepercayaan
pada tuhan adalah gejala ‘neurosis’, atau Marx dengan ‘agama sebagai candu’,
saya kira kita masih kurang belajar untuk menempatkan ‘teori’ sebagai ‘teori’[5].
Baik psikoanalisa atau marxisme pada dasarnya adalah sebauh teori, bukan
‘dogma’, jika banyak hal baik yang bisa dipetik dari teori itu, lantas apa
salahnya?, Islam pun jika sudah menjadi dogma tanpa nalar, maka esensi nilai
universalnya bisa dipastikan akan pudar.
Dengan ini, saya kira Psikologi
Islami masih belum punya landasan yang kokoh untuk mewujudkan jati dirinya,
karena tidak ada upaya pengukuhan bentuk atau perumusan teori yang khas, yang
dapat membedakannya baik sudut pandang dan metodologis dalam mengembangkan
keilmuan Psikologi[i].
Sejatinya, Kuntowijoyo, sudah
melakukan antisipasi tentang hal ini, dengan mencoba mengubah arah gerak ‘islamisasi
pengetahuan’ menjadi ‘islam sebagai ilmu’. Islam sebagi ilmu kata Kuntowijoyo,
adalah proses sekaligus hasil. Ada beberapa tahapan menurut Kuntowijoyo untuk
mengilmukan Islam: pertama
demistifikasi, yakni bagaimana ayat-ayat al-qur’an harus dilihat sebagi teks
yang bersejarah dan memiliki konteks tertentu. kedua adalah obyektifikasi,
yakni pendudukan teks al-qur’an dalam realitas sosial melalui dialektika jajak
pendapat kepada publik untuk membakukan teks menjadi sebuah aturan. Ketiga adalah Paradigma Islam, yakni hasil dari proses demistifikasi dan
obyektifikasi, membentuk sebuah konsep utuh, tapi masih memungkinkan terjadinya
proses berkelanjutan sesuai dengan perubahan masyarakat[ii].
[1] Lih. Kuntowijoyo, dalam Prakata, Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta,
Tiara Wacana, 2006. Hal vii-viii
[2] Lih. Fuad Nashori, dalam pengantar, Agenda Psikologi Islami,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002. Hal x
[3] Bandingkan dengan telaah, M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-quran, Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial,`PSAP,
Jakarta, 2005. hal 25&43. Kemudian telaah, Quraish Shihab, Membumikan Al-quran, Mizan, 2007, hal
79. Yakni beberapa hal yang penting dalam metode penafsiran, serta pembatasan
tertentu untuk menghindari penafsiran yang kurang bisa dipertanggungjawabkan.
[4] Lih. Soerjono Soekanto, Sosiologi,
Suatu Pengantar, Rajawali Pers, Jakarta, 2006. Hal 4-6.
[5] Pesan menarik dari bung Hatta, ‘bagi diri sendiri, Marxisme saya
terima..., tapi sebagai ‘teori’, tidak sebagai dogma, Muhammad Hatta, Ajaran Marx Atau Kepintaran Sang Murid
Membeo, Bulan Bintang, Jakarta, 1975. Hal 18
[i] Psikologi Islami masih belum punya metodologi yang utuh, tidak ada
penjelasan yang memadai dalam bab metodologi psikologi Islami, Lih Fuat
Nashori, Agenda Psikologi Islami,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hal 138
[ii] Kuntowijoyo, Paradigma Islam
dan Peradaban Modern, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung,
Mizan, 1991, hal 357-359
Komentar