Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2013

Televisi, Anak, dan Urgensi Literasi Media

Bicara tentang konten siaran televisi bagi anak-anak, agaknya kita selalu kesulitan  memberi batasan dan argumentasi yang jelas tentang seperti apa sesungguhnya tayangan yang layak ditonton oleh anak-anak. Tokoh kartun Sinchan misalnya, ia seusia anak, Nobita dalam kartun Doraemon juga anak-anak. Akan tetapi, tidak cukup fair jika adanya representasi fisik ‘anak’ dalam tontonan di televisi, kemudian digeneralisir sebagai tayangan bagi anak-anak.             Keresahannya nyata. Jika kita saksikan di televisi, anak seperti Sinchan bertingkah genit tak ubahnya kelakuan orang dewasa, apakah anda masih mengira tayangan itu pantas ditonton oleh putra-putri anda yang usianya kurang dari 9 tahun?. Belum lagi jika dalam film kartun yang lain, ada konten-konten yang menjurus pada tindak kekerasan atau perkelahian. Celakanya lagi, acara semacam itu (kartun anak) tampil pada jam-jam ketika anak-anak sedang tidak di sekolah, sore hari ...

Psikologi Islami Tentang Madzhab yang Tak Perlu Berdiri

Saya teringat, sedikit keresahan intelektual dari Prof. Kuntowijoyo. Tahun 2003 (sebelum beliau wafat), di prakata bukunya ‘ Islam sebagai ilmu ’. Intelektual sekaligus budayawan kita ini bercerita, bahwa sempat membaca makalah  kongres psikologi Islam, 10 0ktober 2003 di Solo milik isterinya. Lantas beliau menilai, bahwa dalam gerakan psikologi Islami ternyata masih tercium bau-bau ‘Islamisasi pengetahuan’. Menurut salah seorang temannya, ‘Islamisasi psikologi’ sama saja seperti ‘Islamisasi sepotong daging’, ibarat daging potongan sunat yang sudah tidak utuh lagi, lalu diberi label Islam [1] .             Memang sedikit lucu, sebuah gerakan intelektual yang konon bercita-cita ingin menjadi madzab ke 5 dalam konstelasi madzhab psikologi itu [2] , dipersamakan dengan sepotong daging, apalagi dia membawa nama yang tidak sembarangan, ‘Islam’ sesosok agama samawi yang sangat tersohor karena diimani 2 milyar orang se dunia. ...

Rokok, dari Asma sampai Devisa

Awalnya dari kota Kudus, rokok kretek digunakan sebagai obat penyakit asma. Kini, cukai rokok adalah salah satu penyumbang devisa terbesar bagi negara.             Kisah bermula dari seorang putra asli Kudus, namanya Haji Djamhari. Ia menderita sesak nafas atau penyakit asma. Sebagai bahan terapi, awalnya Haji Djamhari hanya mengoleskan minyak cengkeh ke dadanya. Mendapati kondisi tubuhnya membaik, ia pun memakan biji-biji cengkeh kering. Merasa kurang nikmat, Haji Djamhari lalu mencampur potongan cengkeh kering dengan rajangan tembakau, kemudian melintingnya menjadi rokok untuk dihisap. Syahdan, dengan menghisap campuran potongan cengkeh kering dan rajangan tembakau itu, penyakit asma Haji Djamhari pun reda.             Dari peristiwa itu, Haji Djamhari lantas percaya bahwa campuran hasil eksperimennya ini bermanfaat untuk mengobati penyakit asma, lalu ia pun mempopu...

Westminster School dan Kajian Ekonomi Politik Komunikasi

Di Inggris, kita kenal baik dengan Birmingham School sebagai gerakan awal dalam perkembangan pemikiran cultural studies , yang kini banyak dipakai sebagai perspektif dalam kajian media. Akan tetapi, dalam tradisi yang berbeda, akar kajian media di Inggris juga penting dilacak dari kemunculan Westminster School , yang punya peran penting bagi kajian komunikasi dan media dalam perspektif ekonomi politik. Westminster School berdiri pada awal 1970 an di bawah Departemen Media, Polytechnic of Central London (PCL, berubah nama menjadi Westminster University pada 1992). Pada tahun 1979, mereka menerbitkan jurnal Media, Culture and Society , yang kini sangat diperhitungkan di Eropa. Tokoh Westminster School yang punya pengaruh penting adalah Nicholas Garnham. Dalam melihat relasi antara media dan budaya, studi-studi di Inggris menunjukkan adanya ketertarikan dengan tradisi Marxis dan kajian sastra. Akan tetapi, Karakter utama yang membedakan perspektif Westminster School dengan kelompok...